Jumat, 09 Mei 2014

Rutinitas Satu Tahun

Aku ingat. Setiap jam tiga sore, aku hanya dapat melihat. Selama satu tahun, inilah rutinitasku. Selama dua tahun itu juga, aku selalu tersenyum setiap jam tiga sore. Rutinitas itu berjalan selama lima menit setiap Senin sampai Jumat selama dua tahun belakangan.

Namun demikian, selalu ada perasaan menohok setelah lima menit itu selesai. Perasaan yang aku rasakan selama satu tahun dan aku tidak pernah dapat mengerti mengapa tidak pernah berakhir.


Seperti sekarang ini, aku tengah memandanginya. Ia sedang membaca injil pemberian sobat karibnya itu. Ia selalu membacanya di perbatasan antara ruang makan dan lorong belajar. Di perbatasan itu, tempat yang sudah tidak dipedulikan orang lagi, ia justru peduli.

Aku tersenyum. Dari sisi lorong ini, aku dapat melihatnya. Wajahnya sangat manis diterpa sinar mentari sore. Rambutnya sangat indah diembuskan angin sepoi-sepoi. Dirinya sangat anggun dengan raut wajah yang tenang itu. Namun, biasanya setelah aku melihatnya menutup injilnya, aku akan bersedih.

Tidak beberapa lama kemudian, ia mengatupkan kedua tangannya di dada lalu menutup kedua matanya. Seperti biasa, ia memejamkan matanya, tanda ia sudah selesai membaca. Aku menebak bahwa ia kini tengah berdoa. Aku menghela nafas. Ia lalu menutup injil pemberian sahabat karibnya itu.

Aku sudah bersiap. Panggilan yang akan sekali lagi menyumpal dadaku itu sebentar lagi akan datang. Sebenarnya aku tidak ingin...aku masih saja memperhatikannya memasukkan injil ke dalam tas.

"Ahmad, ayo pulang!" teriak kakakku menjemput.

Ah, suara itu. Aku pun mengangguk. Sudah waktunya. Aku segera bergegas untuk solat ashar terlebih dahulu sebelum pulang bersama kakak ke rumah.

Sekali lagi, aku mengalaminya. Perpisahan ini, akan terus terjadi selama kami terpisah oleh pintu tersebut.

Lihat? Bahkan kami sudah terpisah sebelum kami berpisah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar