Aku ingat. Setiap jam tiga sore, aku
hanya dapat melihat. Selama satu tahun, inilah rutinitasku. Selama
dua tahun itu juga, aku selalu tersenyum setiap jam tiga sore.
Rutinitas itu berjalan selama lima menit setiap Senin sampai Jumat
selama dua tahun belakangan.
Namun demikian, selalu ada perasaan
menohok setelah lima menit itu selesai. Perasaan yang aku rasakan
selama satu tahun dan aku tidak pernah dapat mengerti mengapa tidak
pernah berakhir.
Seperti sekarang ini, aku tengah
memandanginya. Ia sedang membaca injil pemberian sobat karibnya itu.
Ia selalu membacanya di perbatasan antara ruang makan dan lorong
belajar. Di perbatasan itu, tempat yang sudah tidak dipedulikan orang
lagi, ia justru peduli.
Aku tersenyum. Dari sisi lorong ini,
aku dapat melihatnya. Wajahnya sangat manis diterpa sinar mentari
sore. Rambutnya sangat indah diembuskan angin sepoi-sepoi. Dirinya
sangat anggun dengan raut wajah yang tenang itu. Namun, biasanya
setelah aku melihatnya menutup injilnya, aku akan bersedih.
Tidak beberapa lama kemudian, ia
mengatupkan kedua tangannya di dada lalu menutup kedua matanya.
Seperti biasa, ia memejamkan matanya, tanda ia sudah selesai membaca.
Aku menebak bahwa ia kini tengah berdoa. Aku menghela nafas. Ia lalu
menutup injil pemberian sahabat karibnya itu.
Aku sudah bersiap. Panggilan yang akan
sekali lagi menyumpal dadaku itu sebentar lagi akan datang.
Sebenarnya aku tidak ingin...aku masih saja memperhatikannya
memasukkan injil ke dalam tas.
"Ahmad, ayo pulang!" teriak
kakakku menjemput.
Ah, suara itu. Aku pun mengangguk.
Sudah waktunya. Aku segera bergegas untuk solat ashar terlebih dahulu
sebelum pulang bersama kakak ke rumah.
Sekali lagi, aku mengalaminya.
Perpisahan ini, akan terus terjadi selama kami terpisah oleh pintu
tersebut.
Lihat? Bahkan kami sudah terpisah
sebelum kami berpisah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar