Selasa, 14 Agustus 2012

Disnomia

Aku mengambil secarik kertas di depanku. Kertas dengan tulisan acak-acakan yang sukar dibaca. Aku sendiri yang membuat catatan ini. Tadi pagi, Inspektur Daffa meneleponku. Berhubung aku sedang sibuk dan dalam keadaan semrawut, aku membuat catatan dengan asal-asalan. Alhasil, inilah hasil catatanku. Dengan sudah payah, aku berusaha membaca catatanku.

Ingatan tadi pagi yang terputus-putus ditambah dengan catatan asal ini memanggil kembali memoriku. Aku baru ingat. Tadi Inspektur Daffa meneleponku. Katanya, kemarin ada tawuran pelajar yang terjadi di daerah yang tidak terlalu jauh dari rumahku. Sayangnya, para pelaku tawuran itu belum tertangkap. Aku diminta Inspektur Daffa untuk membantu menangkap para remaja pengidap gangguan mental itu. Inspektur Daffa adalah salah satu polisi yang dipekerjakan di Balai Kota Depok. Walau begitu, ia sering menyelidiki kasus di luar Balai Kota.

Aku sendiri adalah seorang pemuda yang masih menemukan jati diri. Aku sudah pernah membantu kepolisian dua kali. Sekali untuk menangkap pelaku perampokan dan yang kedua untuk membantu menemukan barang curian yang hilang. Umurku 19 tahun, aku masih belajar di universitas dan aku tinggal sendiri di kos-an.

Cukup untuk itu. Aku pun segera bersiap untuk menuju tempat kejadian dimana kemarin terjadi tawuran.
*
“Bagaimana keadaannya?” Aku bertanya kepada Inspektur Daffa.

Inspektur Daffa menyambutku dengan senyum datarnya. “Seperti yang bisa Anda lihat, ada jejak-jejak darah berceceran. Beberapa senjata dan pecahan beling juga tertinggal di TKP,”

“Apakah ada yang tertangkap?” Aku bertanya kembali.

“Kami menemukan seorang lelaki berumur sekitar 15 tahun yang terluka cukup parah. Ia kini dirawat di RS di sebelah kantor polisi. Apakah Anda ingin melihatnya?”

Aku mengangguk. “Tentu saja aku ingin mengunjunginya jika kondisinya sudah membaik. Apakah ia sudah membaik?”

“Kondisinya sudah baikan. Tetapi ia terlihat masih gugup. Apa yang akan kau lakukan?”

“Apakah Anda keberatan jika saya menginterogasi anak itu?”

Inspektur Daffa berpikir sebentar. Tidak lama kemudian, ia segera mengajakku masuk ke mobilnya dan segera menuju RS Pandawa yang ada di sebelah kantor polisi.

Sesampainya di sana, Inspektur Daffa meninggalkan aku sendiri. Aku sendiri yang meminta ini. Aku lebih senang menginterogasi tanpa bantuan.

“Selamat pagi,” sapaku kepada anak di depanku. Ia terlihat terbaring ketakutan. “Apakah pagi ini indah?”

Hening. Ia tidak merespon. Aku kembali mencoba mencairkan suasana dengan berbasa-basi. Walaupun begitu, ia tetap tidak menjawab. Aku kehabisan ide. Aku pun segera berkata, “Namamu Eko, betul? Apakah kau keberatan jika aku memanggilnya kemari?”

Eko menoleh. Aku sengaja memberi tekanan pada kata ‘nya’. Ia merespon. Aku segera melanjutkan, “Kukira ‘dia’ akan datang. Aku dan para polisi sudah menangkapnya.”

“Kau bukan polisi?” Ia terpancing.

“Tentu saja. Aku kemarin hanya untuk menenangkanmu.”

“Kau menjebakku kan? Aku tahu kau ingin aku terpancing dalam percakapan ini,” kata Eko sembari tertawa kecil. “Polisi pasti belum menangkapnya. Ngomong-ngomong, darimana kau tahu tentang ‘dia’?”

Sudah kuduga. ‘Dia’ ikut campur dalam urusan ini. Ia muncul tahun 2005 dan meneror Indonesia selama 2 tahun. Sudah 4 tahun ‘dia’ vakum dan tidak terlihat. Banyak spekulasi mengenai dirinya. Ia punya puluhan nama, mulai dari Anton, Roni, Agus. Tetapi, selama ini, ia lebih dikenal sebagai ‘Disnomia’.

Disnomia disinyalir sebagai seorang mafia Italia yang menyusup ke Indonesia. Sesuai namanya yang diambil dari nama dewa pelanggaran hukum dari Yunani, Disnomia kerap kali melanggar hukum di Indonesia. Ia sepertinya berencana menjalankan tujuan mafia di Indonesia.

“Jadi kalian mendapat bantuan darinya?” aku kembali bertanya kepada Eko.

“Ia menawarkan bantuan kepada kami,” jawab Eko. “Ia memberi senjata-senjata dengan harga murah.”

“Dimana ‘dia’?” aku langsung bertanya.

“Sungguh, aku tidak tahu. Percayalah, aku ingin membantu polisi, tetapi aku tidak tahu keberadaan Disnomia dan komplotannya.”

“Apakah ada sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk?”

Ia menunjuk jaketnya dengan tangan terbalut perban. “Ambil di saku jaketku. Ada sebuah kertas yang mungkin bisa dijadikan petunjuk. Aku memungutnya saat kami dan Disnomia bertemu di sebuah gudang. Jangan tanyakan padaku apa arti kertas itu, aku tidak tahu apa pun.”

Aku melihat kertas di saku jaketnya. Aneh sungguh coret-coretan di kertas kecil itu. Di kertas itu terlihat gambar siluet manusia. Di sampingnya ada sebuah panah yang mengarah ke sebuah rumah. Di atas gambar rumah itu ada bintang. Tidak ada gunanya bertanya kepada Eko. Aku yakin ia tidak tahu-menahu mengenai arti kertas ini.

“Tadi kau bilang bahwa kau melakukan pertemuan dengan Disnomia. Dimanakah itu?”

Ia menggeleng. “Baca koran tadi pagi? Tertulis bahwa terjadi kebakaran hebat di sebuah gedung karena ledakan elpiji. Dan itulah gudang dimana kami melakukan pertemuan.”

Aku termenung. Menyadari bahwa persoalan ini tidak semudah kasus perampokan tempo hari.

“Pertanyaanku belum dijawab. Darimana kau mengetahui tentang Disnomia?” Ia kembali mendesakku.

“Aku menyelidikinya sendiri. Aku dan beberapa temanku mempunyai ketertarikan akan hal ini,” jawabku singkat.

Tiba-tiba handphoneku berbunyi. Aku mengangkatnya dan melihat panggilan masuk dari Inspektur Daffa. Dari telepon, dengan cepat ia memberitahuku bahwa tawuran kembali terjadi di salah satu jalan di Depok. Aku pamit kepada Eko dan keluar. Aku lihat Inspektur Daffa ada di ruang tunggu. Dengan cepat ia mengantarkanku ke mobilnya untuk menuju tempat kejadian. Selama perjalanan kami tidak berbicara. Aku sibuk mencari simpul logis dari coret-coretan kertas itu.

“Itu mereka!” teriak Inspektur Daffa. Ia menunjuk ke segerombol anak muda yang membawa senjata tajam dan alat pemukul lainnya. Anak-anak itu menuju mobil yang kami tumpangi. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.

“Apa yang harus kita lakukan?” Aku bertanya panik.

“Kita putar haluan! Sekarang belum terlambat. Biarkan mobil patroli di belakang yang menghadang!”

“Tapi mobil di belakang akan berada dalam bahaya,” protesku.

Inspektur Daffa hanya diam dan memacu mobilnya. Tiga mobil polisi melewati kami. Kekhawatiranku terbukti. Tiga mobil patroli polisi terjebak dalam amukan orang-orang yang sedang tawuran. Kaca-kaca mobil dipecahkan. Selanjutnya aku tidak melihat karena aku membeku.

Aku membeku. Otakku terus berputar dengan cepat. Aku menelusuri tirai mafia dan menyibak pintu menuju Disnomia. Dengan cepat aku meloncat dan merobek selubung yang menutupi kebenaran pada kertas di RS Pandawa tadi. Aku pun melesat dan memperjelas gambaran yang muncul di relung-relung kerusakan sosial di sekitarku. Dengan cepat segera kusambung kembali untaian-untaian rantai berkarat ini. Aku kembali diam dan melihat Inspektur Daffa yang sedang mengendarai mobil. Dengan perlahan aku merogoh kantong di bajuku.

“Maaf Inspektur, bisa hentikan mobilnya?” Aku berkata lembut, namun Inspektur Daffa tetap mengendarai mobilnya. Aku frustasi. Segera aku berteriak, “Tolong hentikan mobilnya, Disnomia!”

Inspektur Daffa mengerem mendadak. Aku sudah bulat akan kesimpulanku. Aku berencana mengungkapkan semuanya di depan Inspektur Daffa, atau aku lebih suka memanggilnya, Disnomia.

“Kau panggil aku apa tadi?” Inspektur Daffa menoleh.

“Aku sudah membuka topengmu, Disnomia,” ujarku. “Saat Disnomia menghilang, kau muncul. Selain itu aku melihat kertas yang ada di jaket Eko. Dalam gambar itu ada gambar siluet manusia dan panah yang di sampingnya yang menunjuk kepada sebuah bangunan dengan bintang di atasnya. Bintang yang dimaksud adalah buah bintang alias belimbing. Kau tahu kan bahwa itu adalah lambang kota Depok? Dan kau bekerja di Balai Kota Depok yang di pintu masuknya menggunakan lambang belimbing.”

Inspektur Daffa, atau Disnomia, tertawa kecil. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Oke, aku mengaku. Aku adalah Disnomia. Sejak kapan kau mulai mencurigaiku?”

“Sejak di rumah sakit. Aku sangat heran. Mengapa kau menggunakan telepon genggam untuk meneleponku padahal kau berada di ruang tunggu sementara aku di ruang pasien. Bukankah lebih efektif jika kau masuk saja? Aku berpikir bahwa kau tidak mau Eko mengenalimu sebagai Disnomia.”

“Hehehe…cerdas,” ucap Disnomia. “Apa yang akan kau lakukan untuk menangkapku? Sedari tadi kau tidak punya kesempatan untuk menghubungi siapa pun. Selain itu aku bersenjata, kau dapat kubunuh kapanpun aku mau. Jadi, apa rencanamu selanjutnya?” Ia menodongkan pistolnya ke arahku.

“Kau gila, Disnomia!” Aku membentaknya. “Kau memanfaatkan kerusakan moral remaja Indonesia untuk melaksanakan rencana geng mafiamu.”

“Hahaha…” Disnomia tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya. “Rencanaku berhasil. Anak-anak Indonesia memang tolol semua! Keuntungan dari penjualan senjata bisa kami dapatkan. Sementara itu, mereka sudah kami bayar untuk aksi besok siang. Para pelaku tawuran itu akan memanggil gengnya dan menyerbu gedung MPR. Saat itulah aku akan memanfaatkan situasi dan para anggota geng mafia lain akan muncul dan merebut pemerintahan Indonesia.”

“Gila! Kau akan kalah, Disnomia!”

“Kau tidak dapat melakukan apa-apa! Selain itu, kau…hei, apa yang kau pegang?”

Aku tetap meletakkan tangan di sakuku. Sebenarnya aku sudah menelepon kantor polisi pusat sejak Daffa mengaku bahwa ia adalah Disnomia. Aku membiarkan telepon aktif dan membuat kantor polisi pusat mendengarkan percakapan kami.

Plakk…

Dengan cepat aku menangkis tangannya yang mengarahkan pistol kepadaku. Aku menghantam lehernya. Ia terjatuh lemas. Aku segera melumpuhkan beberapa sarafnya. Ia terdiam lemas. Tidak lama kemudian, beberapa mobil patroli datang dan meringkus Disnomia.
*

“Bagaimana keadaanmu?” aku bertanya kepada Eko. Ia duduk sambil tersenyum.

“Aku sudah melihat beritanya, Tra,” ujar Eko kepadaku. “Aku terkesan padamu. Bolehkah aku membantumu?”

“Membantu apa?” Aku tertawa kecil.

“Penyelidikan-penyelidikan selanjutnya,” jawab Eko. “Aku rasa membantu penyelidikan polisi lebih seru dibanding terlibat tawuran.”

Aku tertawa kecil. “Semoga cepat sembuh,” kataku. Aku segera berbalik dan membuka pintu kamar RS tersebut. Aku rasa aku sudah seharusnya keluar.

“Putra!”

Eko memanggilku. Aku menoleh sebelum aku sempat melangkah keluar. “Ada apa?”

Eko tersenyum. “Semoga sukses!”

Aku tersenyum kecil dan keluar dari ruangan itu. Tadi pagi polisi kembali memanggilku untuk membantu penyelidikan suatu kasus. Aku pun siap untuk menghadapi masalah selanjutnya. Negeriku, aku mengabdi padamu!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar