"Tolong berikan ini kepada Budi,” pinta Ami kepada Riko agar menyerahkan sebuah buku pelajaran kepada Budi.
“Kenapa tidak kau sendiri saja?” tanya Riko bingung.
“Aku ada keperluan. Ayolah, ini
penting. Jangan kayak orang anemia gitu dong,” kata Ami dengan muka memelas.
Riko tidak tega melihat wajah Ami
yang memelas. Ia pun mengambil buku Biologi yang diberikan oleh Ami. Saat ia
mengambil buku tersebut, Ami langsung melesat pergi keluar. Riko melihat Ami
menemui Dini, temannya.
Riko berjalan dengan agak
malas-malasan ke arah meja Budi. Entah kenapa, hari ini ia sangat malas,
padahal meja Budi terletak tidak jauh dari mejanya. Meja Riko berada di barisan
paling depan, sementara meja Budi ada di barisan paling belakang. Sebenarnya
tidak jauh karena mereka masih berada dalam satu ruangan yang sama.
“Bud, ini ada buku dari Ami,” kata Riko. Ia menyerahkan buku itu kepada Budi.
Budi menyambut buku itu dengan kedua
tangannya. Ia mengambilnya dengan wajah berseri-seri dan berkata, “Wah,
terimakasih Rik, ini buku milikku yang hilang dan ditemukan oleh Ami. Kenapa
buku ini bisa berada di tanganmu?”
“Bahasanya jangan lebay ah,” kata
Riko. “Tadi Ami yang menitipkannya.”
“Oh, ok, ok,” kata Budi. Ia
mengacungkan jempolnya. Tiba-tiba, wajahnya berubah, ia menatap Riko dan
berkata. “Kenapa Rik? Ada masalah? Muka lo kayak penderita influenza yang kena
busung lapar,”
Wajah Riko kini memang terlihat
murung dan lemas. Sebetulnya tidak seperti orang terkena busung lapar, Budi
hanya melebihkan kata-kata terakhirnya. Riko diam, baru saja ia ingin menjawab,
Diki datang dan ikut nimbrung.
“Wah, Rik, kenapa lo jadi kayak
orang kena kanker paru-paru gitu sih?” kata Diki sambil tersenyum.
Riko yang tadinya ingin menjawab
menjadi diam. Ia berkata setengah kesal, “Yang betul, gue kenapa sih? Ami
bilang gue kena anemia, eh lo berdua bilang kalo gue keserang busung lapar plus
kanker paru-paru. Kenapa demam berdarah ga dimasukin? Bawa aja gue ke rumah
sakit!”
“Sabar, sabar, kita cuma bercanda
kok. Kalo diambil serius, lo bisa kena hepatitis,” kata Diki.
“Nah, kenapa hepatitis ikut-ikutan?”
tanya Riko kesal. “Aduh, kena hipertensi deh. Darah tinggi nih!”
"Udah-udah, jangan nambah penyakit,”
kata Budi menengahi. “Temen gue pernah marah-marah, tiba-tiba besoknya langsung
kena diabet—eh, maaf, maaf, bercanda,” Budi menambahkan ketika Riko ingin
memprotesnya saat ingin mengatakan diabetes.
“Oke, sekarang kita lupakan semua
penyakit. Gue ada kabar,” kata Budi.
“Kabar apa? Saudara lo kena
katarak?” tanya Riko dengan nada yang masih kesal.
“Atau jangan-jangan, kena jantung
koroner?” tambah Diki.
“Udah ah, serius! Jangan sampai gue
bikin lo berdua kena kencing manis!” kata Budi. Kini dia yang kesal. “Jadi
begini, gue punya kenalan di rumah yang memberiku tiga tiket konser musik.”
“Terus?” tanya Diki meminta
kelanjutan cerita. “Konsernya kenapa? Banyak setannya?”
“Jaman sekarang masih aja percaya
sama setan,” kata Riko. “Sekarang udah jaman teknologi. Handphone yang baru aja
kemarin diluncurkan.”
"Bukannya udah keluar dari minggu
lalu?” tanya Diki.
“Mungkin. Gue juga kurang baca koran
sih akhir-akhir ini. Orangtua gue lagi pergi dinas. Jadilah gue tinggal sendiri
di rumah,” jawab Riko.
“Sama kayak Tino dong,” kata Diki.
“Dia juga tinggal sendirian. Ayahnya meninggal, sementara ibunya kerja dan
pulang setiap hari Minggu,”
"Gue masih untung kalo gitu,” seru
Riko. “Kedua orangtua gue masih ada. Tapi sebenarnya, rumah tetangga…” belum
selesai Riko berbicara, Budi menggebrak mejanya.
“Kita lagi ngomongin apa sih?” kata
Budi kesal. “Intinya, kenalanku itu memberikan tiga tiket karena ia harus pergi
ke Jogja. Sekarang, kalian mau ikut ke konser itu atau liburan semester satu
besok kalian hanya bengong di rumah?”
“Wah, boleh juga tuh,” kata Riko
antusias. “Tapi, itu konser musik apa? Maksudku, siapa penyanyi yang akan
tampil di sana?”
“Konser musik pop. Yang tampil
adalah band dan musisi ternama,” kata Budi. Tiba-tiba, pandangannya tertuju
pada Riko dengan wajah serius. “Eh, ngomong-ngomong, tadi kenapa lo murung
Rik?”
“Cuma kehilangan uang,” kata Riko. “Lima
ribu. Lumayan loh,”
“Jadi, hari Minggu besok bisa semua
kan?” tanya Budi langsung, tanpa memperdulikan jawaban Riko.
Riko dan Diki pun mengangguk. Jarang
sekali mereka mendapat tiket konser musik pop gratis. Bel sekolah berbunyi,
tanda bahwa pelajaran selanjutnya akan dimulai. Pelajaran setelah istirahat
adalah matematika. Tetapi, karena di hari Jum’at itu guru matematika tidak
masuk, mereka pun mengerjakan tugas yang sudah diberikan.
Dua hari kemudian, di hari Minggu yang
cerah, Riko, Diki, dan Budi bersiap untuk pergi ke konser musik. Konser itu
akan dilaksanakan pukul 09.00. Pukul 08.00, mereka bertiga pergi menuju tempat
dimana konser tersebut akan dilaksanakan.
Mereka sudah sampai di depan gerbang
masuk. Saat mereka ingin mengantri, tiba-tiba seorang laki-laki yang sepertinya
sudah berumur 30 tahun mendekati mereka sambil membawa ransel berwarna biru
gelap. Lelaki itu memakai jas abu-abu dengan celana jeans biru.
“Dik, maaf, bisa tolong belikan obat
flu di warung itu?” kata lelaki tersebut seraya menujuk sebuah warung di dekat
situ. “Saya harus ke toilet sebentar.”
“Baiklah,” kata Diki. Ia dan kedua
temannya pun pergi ke warung untuk membeli obat flu. Setelah membeli obat flu
dengan uang lima ribu pemberian lelaki itu, mereka kembali membawa obat flu
yang tadi dipesan.
“Ini Pak, obat serta kembaliannya,”
Riko memberikan uang kembalian dan obat flu kepada lelaki itu.
Orang itu lalu lari meninggalkan mereka dengan terburu-buru. Ia melirik jam tangannya, sepertinya ia sudah agak terlambat. Saat berlari itulah, mereka melihat dengan jelas, sebuah amplop coklat terjatuh dari saku celananya.
Budi segera memungut amplop coklat berukuran sedang tersebut. Ia hendak memanggil orang tadi, sayangnya ia sudah membelok di tikungan.
“Ayo, kita kejar Bapak tadi!” ajak Budi sambil berlari. Diki dan Riko mengikutinya berlari dari belakang.
“Apa isi amplop itu?” tanya Diki sambil terus berlari.
"Uang,” kata Budi. “Isinya banyak, mungkin Bapak itu sangat memerlukannya.”
Mereka mengejar sampai akhirnya mereka melihat lelaki yang mereka kejar berbelok di sebuah tikungan. Saat mereka berbelok ke tikungan tersebut, mereka melihat orang itu berdiri di depan tembok.
“Sedang apa dia?” bisik Diki. “Sudahlah, ayo kita kembalikan uangnya!”
“Jangan dulu!” kata Budi mencegah Diki yang baru saja akan berteriak. Mereka bertiga kini bersembunyi di balik tempat sampah yang besar, sehingga lelaki tadi tidak mengetahui mereka.
“Kenapa jangan? Benda ini miliknya kan?” tanya Riko. “Sini, berikan kepadaku!” Riko merebut amplop itu dari tangan Budi dan berjalan menuju lelaki yang mereka kejar.
Tiba-tiba lelaki itu menoleh, tampaknya ia sangat kaget akan kehadiran Riko. Dengan gerakan yang cepat, laki-laki itu meloncat menabrakkan dirinya ke tembok. Sesaat Riko menyangka orang itu sudah gila dan akan jatuh karena menabrak tembok. Tetapi hal yang ajaib terjadi. Orang itu menembus tembok bagaikan hantu.
Orang itu lalu lari meninggalkan mereka dengan terburu-buru. Ia melirik jam tangannya, sepertinya ia sudah agak terlambat. Saat berlari itulah, mereka melihat dengan jelas, sebuah amplop coklat terjatuh dari saku celananya.
Budi segera memungut amplop coklat berukuran sedang tersebut. Ia hendak memanggil orang tadi, sayangnya ia sudah membelok di tikungan.
“Ayo, kita kejar Bapak tadi!” ajak Budi sambil berlari. Diki dan Riko mengikutinya berlari dari belakang.
“Apa isi amplop itu?” tanya Diki sambil terus berlari.
"Uang,” kata Budi. “Isinya banyak, mungkin Bapak itu sangat memerlukannya.”
Mereka mengejar sampai akhirnya mereka melihat lelaki yang mereka kejar berbelok di sebuah tikungan. Saat mereka berbelok ke tikungan tersebut, mereka melihat orang itu berdiri di depan tembok.
“Sedang apa dia?” bisik Diki. “Sudahlah, ayo kita kembalikan uangnya!”
“Jangan dulu!” kata Budi mencegah Diki yang baru saja akan berteriak. Mereka bertiga kini bersembunyi di balik tempat sampah yang besar, sehingga lelaki tadi tidak mengetahui mereka.
“Kenapa jangan? Benda ini miliknya kan?” tanya Riko. “Sini, berikan kepadaku!” Riko merebut amplop itu dari tangan Budi dan berjalan menuju lelaki yang mereka kejar.
Tiba-tiba lelaki itu menoleh, tampaknya ia sangat kaget akan kehadiran Riko. Dengan gerakan yang cepat, laki-laki itu meloncat menabrakkan dirinya ke tembok. Sesaat Riko menyangka orang itu sudah gila dan akan jatuh karena menabrak tembok. Tetapi hal yang ajaib terjadi. Orang itu menembus tembok bagaikan hantu.
Riko terpaku diam di tempatnya,
masih kaget akan apa yang telah terjadi di depan matanya.
“Kemana orang itu?” kata Diki, keluar dari tempat persembunyiannya.
“Ia masuk ke dalam tembok ini,” kata
Riko. Ekspresi Diki dan Budi kebingungan, mereka menganggap Riko berbohong.
“Tidak mungkin!” tegas Budi. Ia
menyentuh tembok itu. “Ini benda padat yang—woaa…” Budi berteriak. Tiba-tiba ia
merasa tangannya dingin. Ternyata tangannya sudah menembus tembok.
“Kau benar,” kata Diki kaget. “Ayo,
kita masuk.”
Mereka bertiga pun masuk menembus
tembok di depan mereka. Saat mereka sudah melewati tembok itu, mereka tiba di
tempat yang tidak mereka kenali sebelumnya.
Tempat itu seperti sebuah gang
sempit yang kotor. Sampah-sampah basah berserakan dimana-mana, membuat bau
busuk tidak terbendung. Riko, Diki, dan Budi menutup hidung mereka. Dengan
cepat mereka menyusuri gang itu hingga tiba di tempat yang lebih luas.
Kini mereka seperti berada di
lapangan gersang yang luas. Terlihat dua orang perempuan sedang berdiri
membelakangi Diki, Riko, dan Budi di tengah lapangan itu.
“Siapa mereka?” tanya Diki. “Dan
yang lebih penting, dimana orang yang tadi kita kejar?”
“Coba kita tanyakan kepada mereka,”
ajak Riko.
Dengan segera mereka bertiga
mendekati dua orang perempuan yang sedang berdiri membelakangi mereka sambil
bercakap-cakap di tengah lapangan.
“Permisi, boleh kami bertanya?” Budi
bertanya saat mereka sudah dekat dengan dua orang perempuan itu. Anehnya, dua
perempuan tersebut berhenti berbicara saat ditanya oleh Budi.
“Maaf, boleh kami bertanya?” kini
Diki yang bertanya. Merasa jawabannya tidak direspon, Diki mengulangi pertanyaannya.
“Maaf, boleh kami bertanya?”
Salah seorang perempuan tersebut
berbalik ke arah Riko. Betapa terkejutnya Riko saat wajah si perempuan sangat
mengerikan. Matanya ada tiga, berjajar ke bawah. Mulutnya ada di pipi dan di
dagunya tumbuh duri landak.
“Siapa…maksudku, apa itu?” tanya
Riko yang terjatuh saking kagetnya.
Diki dan Budi juga tidak tahu,
mereka mundur karena ketakutan melihat wajah perempuan pertama. Tiba-tiba,
perempuan kedua membalikkan tubuhnya dan terlihat wajahnya yang aneh. Mulutnya berparuh
seperti bebek dan hidungnya panjang bergerigi. Mata kanannya seperti mata
kucing sementara mata kirinya seperti mata manusia yang terkena katarak.
Budi memberanikan dirinya, ia
mendekati perempuan tersebut dan berkata, “Permisi, apakah kalian melihat
seorang laki-laki yang memakai jas abu-abu melewati lapangan ini?”
Kedua perempuan itu saling memandang
satu sama lain. Tiba-tiba perempuan bertama berteriak dengan nyaring ke arah
Budi. Budi menutup kupingnya. Pada saat itulah muncul sayap berwarna hitam
kemerahan yang besar dari punggung kedua perempuan tersebut.
Perempuan pertama menggenggam kerah
depan baju milik Budi dan terbang membawanya. Sementara itu, perempuan kedua
terbang mengikuti yang pertama.
Riko dan Diki terdiam pasrah, tidak
tahu apa yang harus mereka lakukan. Mereka melihat dengan mata mereka
masing-masing, Riko dibawa terbang makhluk aneh tersebut.
“Sekarang, apa yang harus kita
lakukan?” tanya Diki, peluh keringat membasahi tubuhnya.
“Entahlah,” kata Riko. “Tetapi,
dimana ini sebenarnya?”
“Maafkan aku,” tiba-tiba sebuah
suara yang sepertinya mereka kenali menjawab. “Karena aku kalian jadi terjebak
di dunia ini.”
Tiba-tiba muncul retakan kecil di
tanah dekat tempat Diki dan Riko berada. Retakan itu membesar hingga muncul
sebuah tangan dari dalamnya. Tangan itu terus naik dan mencengkeram tanah.
Seperti mayat yang keluar dari kuburnya, sesosok laki-laki yang mereka kenal
keluar dari dalam tanah. Lelaki itu adalah orang yang tadi mereka kejar.
“Siapa kau sebenarnya?” tanya Riko. “Dan
dimana ini?”
“Kalian kini terjebak di dunia
WX45T. Dunia WX45T adalah dunia untuk para monster,” jelas lelaki tersebut.
“Sebelumnya, perkenalkan, nama saya Da. Saya adalah penghuni dunia ini.”
“Kalau begitu, aku berikan ini
kepadamu,” Riko menyerahkan amplop coklat tersebut kepada si lelaki yang
bernama Da.
“Terimakasih banyak, aku sangat
membutuhkan ini,” ujar Da. “Tetapi, kalian terjebak di dunia ini karena
kejujuran kalian. Apakah kalian suka?”
“Sejujurnya tidak. Tetapi, tolong
beritahu kami dimana Budi,” pinta Diki.
“Oh, teman kalian tadi ya,” kata Da.
Ia berpikir sejenak. “Baiklah, ayo ikut aku.”
Da berjalan menuju sebuah pohon
besar di pinggir lapangan. Ia menyentuh pohon tersebut sambil menggumamkan
kata-kata dalam bahasa yang tidak dikenali Riko maupun Diki. Tiba-tiba sebuah
lubang terbentuk di depan pohon tersebut, lubang itu bercahaya sangat terang.
“Masuklah, kalian akan aku bawa ke tempat Budi berada,” kata Da.
Diki dan Riko masuk ke lubang
tersebut. Mereka merasakan seperti badan mereka dihimpit dari segala arah.
Mereka memejamkan mata dan saat itu juga, hawa panas dan dingin yang
menyelimuti mereka membuat mereka merasa kurang nyaman. Detik selanjutnya,
mereka merasa terbang dengan kecepatan tinggi dan mendarat dengan keras.
Riko dan Diki membuka mata mereka,
melihat bahwa mereka sudah berada di tempa lain. Tempat yang lebih suram dan
panas dari sebelumnya. Dinding-dinding berdiri dan berbau amis membuat mereka
agak jijik.
“Maaf, perjalanan yang kurang mulus,
kukira?” tanya Da yang sudah berdiri di samping Riko dan Diki yang terjerembab
di tanah.
“Eh, ya, maksudku, dimana ini?”
tanya Riko. Kepalanya masih agak pusing.
“Di gua Trhus, tempat para
Laestrigonians tinggal,” kata Da. “Laestrigonians adalah makhluk-makhluk pemakan
daging yang suka bersembunyi. Walau begitu, mereka sangat kompak dan saling
mendukung terhadap sesama kaumnya.”
“Dan, aku rasa kita akan—hei, itu
Budi!” Riko menunjuk
Riko menunjuk ke sebuah tempat yang
dilapisi kaca tipis. Di tempat itu, Budi diikat dengan tali tambang. Riko
bergegas ke tempat itu dan memecahkan kaca dengan tangannya. Dengan cepat ia
membuka tali yang mengekang Budi dan membawanya ke tempat Diki dan Da berada.
“Ini, aku sudah membawa Budi,
sekarang, ayo kita kembali!” kata Riko.
“Baiklah, ayo, pegang tanganku!”
perintah Da. Dengan segera, Riko, Diki, dan Budi memegang tangan Da dan mereka
merasa menghilang dari tempat itu. Mereka bertiga memejamkan mata mereka, dan
sensasi yang dirasakan Diki dan Riko kembali dirasakan mereka bertiga.
Saat mereka membuka mata mereka, mereka sudah berada di depan pohon besar di pinggir lapangan. Budi berdiri, diikuti oleh Diki dan Riko.
“Terimakasih, kalian telah jujur untuk mengembalikan amplop ini,” kata Da tersenyum. Dengan cepat, senyumannya hilang, tergantikan oleh wajah menyesal. “Tetapi maaf, hanya karena ini kalian terancam bahaya."
“Tidak apa-apa Da, kejujuran adalah hal dasar bagi kami,” kata Diki. “Ngomong-ngomong, bisa kembalikan kami ke dunia asal kami?”
“Tentu,” jawab Da, ia mengangguk. Ia memberikan seutas tali kepada Diki. “Pegang tali ini bersama-sama dan pikirkanlah tempat yang ingin kalian tuju. Mudah-mudahan kalian sampai dengan selamat.”
“Ya, terimakasih Da,” kata Riko.
“Sama-sama. Sampai jumpa kapan-kapan.” Da menghilang setelah mengatakan kalimat perpisahannya.
Diki, Riko, dan Budi memegang tali itu bersamaan dan memikirkan tempat dimana mereka ingin tiba. Mereka memikirkan tikungan di dekat tembok yang membawa mereka ke tempat ini. Dalam hitungan detik, mereka menghilang terbawa angin.
Riko, Diki,dan Budi membuka mata mereka, mereka sudah sampai di dunia mereka! Senyuman menghiasi wajah mereka, akhirnya mereka bisa sampai di dunia mereka kembali.
“Baiklah, ayo kita ke konser musik! Siapa tahu belum selesai,” kata Diki.
Mereka berjalan dengan cepat dan berbelok di tikungan. Saking gembiranya, mereka menabrak seseorang berpakaian China. Saat tertabrak, orang China itu tersenyum dan berkata, “Haiya, lu olang abis darimana ha?”
“Eh, maaf, kami mau nonton konser, Koh,” kata Riko.
“Konser? Hehehe…lu olang pasti dari tahun 2012 ha?” kata orang tersebut dengan tertawa.
“Bukannya ini emang tahun 2012 ya Koh?” tanya Riko heran.
Orang cina itu tertawa terbahak-bahak dan berkata dengan lantang, “Kalau begitu, SELAMAT DATANG DI TAHUN 2215!
Saat mereka membuka mata mereka, mereka sudah berada di depan pohon besar di pinggir lapangan. Budi berdiri, diikuti oleh Diki dan Riko.
“Terimakasih, kalian telah jujur untuk mengembalikan amplop ini,” kata Da tersenyum. Dengan cepat, senyumannya hilang, tergantikan oleh wajah menyesal. “Tetapi maaf, hanya karena ini kalian terancam bahaya."
“Tidak apa-apa Da, kejujuran adalah hal dasar bagi kami,” kata Diki. “Ngomong-ngomong, bisa kembalikan kami ke dunia asal kami?”
“Tentu,” jawab Da, ia mengangguk. Ia memberikan seutas tali kepada Diki. “Pegang tali ini bersama-sama dan pikirkanlah tempat yang ingin kalian tuju. Mudah-mudahan kalian sampai dengan selamat.”
“Ya, terimakasih Da,” kata Riko.
“Sama-sama. Sampai jumpa kapan-kapan.” Da menghilang setelah mengatakan kalimat perpisahannya.
Diki, Riko, dan Budi memegang tali itu bersamaan dan memikirkan tempat dimana mereka ingin tiba. Mereka memikirkan tikungan di dekat tembok yang membawa mereka ke tempat ini. Dalam hitungan detik, mereka menghilang terbawa angin.
Riko, Diki,dan Budi membuka mata mereka, mereka sudah sampai di dunia mereka! Senyuman menghiasi wajah mereka, akhirnya mereka bisa sampai di dunia mereka kembali.
“Baiklah, ayo kita ke konser musik! Siapa tahu belum selesai,” kata Diki.
Mereka berjalan dengan cepat dan berbelok di tikungan. Saking gembiranya, mereka menabrak seseorang berpakaian China. Saat tertabrak, orang China itu tersenyum dan berkata, “Haiya, lu olang abis darimana ha?”
“Eh, maaf, kami mau nonton konser, Koh,” kata Riko.
“Konser? Hehehe…lu olang pasti dari tahun 2012 ha?” kata orang tersebut dengan tertawa.
“Bukannya ini emang tahun 2012 ya Koh?” tanya Riko heran.
Orang cina itu tertawa terbahak-bahak dan berkata dengan lantang, “Kalau begitu, SELAMAT DATANG DI TAHUN 2215!
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar