Jumat, 17 Agustus 2012

Terjebak



"Tolong berikan ini kepada Budi,” pinta Ami kepada Riko agar menyerahkan sebuah buku pelajaran kepada Budi.


“Kenapa tidak kau sendiri saja?” tanya Riko bingung.
         
“Aku ada keperluan. Ayolah, ini penting. Jangan kayak orang anemia gitu dong,” kata Ami dengan muka memelas.

Riko tidak tega melihat wajah Ami yang memelas. Ia pun mengambil buku Biologi yang diberikan oleh Ami. Saat ia mengambil buku tersebut, Ami langsung melesat pergi keluar. Riko melihat Ami menemui Dini, temannya.

Riko berjalan dengan agak malas-malasan ke arah meja Budi. Entah kenapa, hari ini ia sangat malas, padahal meja Budi terletak tidak jauh dari mejanya. Meja Riko berada di barisan paling depan, sementara meja Budi ada di barisan paling belakang. Sebenarnya tidak jauh karena mereka masih berada dalam satu ruangan yang sama.

“Bud, ini ada buku dari Ami,” kata Riko. Ia menyerahkan buku itu kepada Budi.

Budi menyambut buku itu dengan kedua tangannya. Ia mengambilnya dengan wajah berseri-seri dan berkata, “Wah, terimakasih Rik, ini buku milikku yang hilang dan ditemukan oleh Ami. Kenapa buku ini bisa berada di tanganmu?”

“Bahasanya jangan lebay ah,” kata Riko. “Tadi Ami yang menitipkannya.”

“Oh, ok, ok,” kata Budi. Ia mengacungkan jempolnya. Tiba-tiba, wajahnya berubah, ia menatap Riko dan berkata. “Kenapa Rik? Ada masalah? Muka lo kayak penderita influenza yang kena busung lapar,”

Wajah Riko kini memang terlihat murung dan lemas. Sebetulnya tidak seperti orang terkena busung lapar, Budi hanya melebihkan kata-kata terakhirnya. Riko diam, baru saja ia ingin menjawab, Diki datang dan ikut nimbrung.

“Wah, Rik, kenapa lo jadi kayak orang kena kanker paru-paru gitu sih?” kata Diki sambil tersenyum.

Riko yang tadinya ingin menjawab menjadi diam. Ia berkata setengah kesal, “Yang betul, gue kenapa sih? Ami bilang gue kena anemia, eh lo berdua bilang kalo gue keserang busung lapar plus kanker paru-paru. Kenapa demam berdarah ga dimasukin? Bawa aja gue ke rumah sakit!”

“Sabar, sabar, kita cuma bercanda kok. Kalo diambil serius, lo bisa kena hepatitis,” kata Diki.

“Nah, kenapa hepatitis ikut-ikutan?” tanya Riko kesal. “Aduh, kena hipertensi deh. Darah tinggi nih!”

"Udah-udah, jangan nambah penyakit,” kata Budi menengahi. “Temen gue pernah marah-marah, tiba-tiba besoknya langsung kena diabet—eh, maaf, maaf, bercanda,” Budi menambahkan ketika Riko ingin memprotesnya saat ingin mengatakan diabetes.

“Oke, sekarang kita lupakan semua penyakit. Gue ada kabar,” kata Budi.

“Kabar apa? Saudara lo kena katarak?” tanya Riko dengan nada yang masih kesal.

“Atau jangan-jangan, kena jantung koroner?” tambah Diki.

“Udah ah, serius! Jangan sampai gue bikin lo berdua kena kencing manis!” kata Budi. Kini dia yang kesal. “Jadi begini, gue punya kenalan di rumah yang memberiku tiga tiket konser musik.”

“Terus?” tanya Diki meminta kelanjutan cerita. “Konsernya kenapa? Banyak setannya?”

“Jaman sekarang masih aja percaya sama setan,” kata Riko. “Sekarang udah jaman teknologi. Handphone yang baru aja kemarin diluncurkan.”

"Bukannya udah keluar dari minggu lalu?” tanya Diki.

“Mungkin. Gue juga kurang baca koran sih akhir-akhir ini. Orangtua gue lagi pergi dinas. Jadilah gue tinggal sendiri di rumah,” jawab Riko.

“Sama kayak Tino dong,” kata Diki. “Dia juga tinggal sendirian. Ayahnya meninggal, sementara ibunya kerja dan pulang setiap hari Minggu,”

"Gue masih untung kalo gitu,” seru Riko. “Kedua orangtua gue masih ada. Tapi sebenarnya, rumah tetangga…” belum selesai Riko berbicara, Budi menggebrak mejanya.

“Kita lagi ngomongin apa sih?” kata Budi kesal. “Intinya, kenalanku itu memberikan tiga tiket karena ia harus pergi ke Jogja. Sekarang, kalian mau ikut ke konser itu atau liburan semester satu besok kalian hanya bengong di rumah?”

“Wah, boleh juga tuh,” kata Riko antusias. “Tapi, itu konser musik apa? Maksudku, siapa penyanyi yang akan tampil di sana?”

“Konser musik pop. Yang tampil adalah band dan musisi ternama,” kata Budi. Tiba-tiba, pandangannya tertuju pada Riko dengan wajah serius. “Eh, ngomong-ngomong, tadi kenapa lo murung Rik?”

“Cuma kehilangan uang,” kata Riko. “Lima ribu. Lumayan loh,”

“Jadi, hari Minggu besok bisa semua kan?” tanya Budi langsung, tanpa memperdulikan jawaban Riko.

Riko dan Diki pun mengangguk. Jarang sekali mereka mendapat tiket konser musik pop gratis. Bel sekolah berbunyi, tanda bahwa pelajaran selanjutnya akan dimulai. Pelajaran setelah istirahat adalah matematika. Tetapi, karena di hari Jum’at itu guru matematika tidak masuk, mereka pun mengerjakan tugas yang sudah diberikan.

Dua hari kemudian, di hari Minggu yang cerah, Riko, Diki, dan Budi bersiap untuk pergi ke konser musik. Konser itu akan dilaksanakan pukul 09.00. Pukul 08.00, mereka bertiga pergi menuju tempat dimana konser tersebut akan dilaksanakan.

Mereka sudah sampai di depan gerbang masuk. Saat mereka ingin mengantri, tiba-tiba seorang laki-laki yang sepertinya sudah berumur 30 tahun mendekati mereka sambil membawa ransel berwarna biru gelap. Lelaki itu memakai jas abu-abu dengan celana jeans biru.

“Dik, maaf, bisa tolong belikan obat flu di warung itu?” kata lelaki tersebut seraya menujuk sebuah warung di dekat situ. “Saya harus ke toilet sebentar.”

“Baiklah,” kata Diki. Ia dan kedua temannya pun pergi ke warung untuk membeli obat flu. Setelah membeli obat flu dengan uang lima ribu pemberian lelaki itu, mereka kembali membawa obat flu yang tadi dipesan.

“Ini Pak, obat serta kembaliannya,” Riko memberikan uang kembalian dan obat flu kepada lelaki itu.


Orang itu lalu lari meninggalkan mereka dengan terburu-buru. Ia melirik jam tangannya, sepertinya ia sudah agak terlambat. Saat berlari itulah, mereka melihat dengan jelas, sebuah amplop coklat terjatuh dari saku celananya.

Budi segera memungut amplop coklat berukuran sedang tersebut. Ia hendak memanggil orang tadi, sayangnya ia sudah membelok di tikungan.

“Ayo, kita kejar Bapak tadi!” ajak Budi sambil berlari. Diki dan Riko mengikutinya berlari dari belakang.

“Apa isi amplop itu?” tanya Diki sambil terus berlari.

"Uang,” kata Budi. “Isinya banyak, mungkin Bapak itu sangat memerlukannya.”

Mereka mengejar sampai akhirnya mereka melihat lelaki yang mereka kejar berbelok di sebuah tikungan. Saat mereka berbelok ke tikungan tersebut, mereka melihat orang itu berdiri di depan tembok.

“Sedang apa dia?” bisik Diki. “Sudahlah, ayo kita kembalikan uangnya!”

“Jangan dulu!” kata Budi mencegah Diki yang baru saja akan berteriak. Mereka bertiga kini bersembunyi di balik tempat sampah yang besar, sehingga lelaki tadi tidak mengetahui mereka.

“Kenapa jangan? Benda ini miliknya kan?” tanya Riko. “Sini, berikan kepadaku!” Riko merebut amplop itu dari tangan Budi dan berjalan menuju lelaki yang mereka kejar.

Tiba-tiba lelaki itu menoleh, tampaknya ia sangat kaget akan kehadiran Riko. Dengan gerakan yang cepat, laki-laki itu meloncat menabrakkan dirinya ke tembok. Sesaat Riko menyangka orang itu sudah gila dan akan jatuh karena menabrak tembok. Tetapi hal yang ajaib terjadi. Orang itu menembus tembok bagaikan hantu.

Riko terpaku diam di tempatnya, masih kaget akan apa yang telah terjadi di depan matanya.

“Kemana orang itu?” kata Diki, keluar dari tempat persembunyiannya.

“Ia masuk ke dalam tembok ini,” kata Riko. Ekspresi Diki dan Budi kebingungan, mereka menganggap Riko berbohong.

“Tidak mungkin!” tegas Budi. Ia menyentuh tembok itu. “Ini benda padat yang—woaa…” Budi berteriak. Tiba-tiba ia merasa tangannya dingin. Ternyata tangannya sudah menembus tembok.

“Kau benar,” kata Diki kaget. “Ayo, kita masuk.”

Mereka bertiga pun masuk menembus tembok di depan mereka. Saat mereka sudah melewati tembok itu, mereka tiba di tempat yang tidak mereka kenali sebelumnya.

Tempat itu seperti sebuah gang sempit yang kotor. Sampah-sampah basah berserakan dimana-mana, membuat bau busuk tidak terbendung. Riko, Diki, dan Budi menutup hidung mereka. Dengan cepat mereka menyusuri gang itu hingga tiba di tempat yang lebih luas.

Kini mereka seperti berada di lapangan gersang yang luas. Terlihat dua orang perempuan sedang berdiri membelakangi Diki, Riko, dan Budi di tengah lapangan itu.

“Siapa mereka?” tanya Diki. “Dan yang lebih penting, dimana orang yang tadi kita kejar?”

“Coba kita tanyakan kepada mereka,” ajak Riko.

Dengan segera mereka bertiga mendekati dua orang perempuan yang sedang berdiri membelakangi mereka sambil bercakap-cakap di tengah lapangan.

“Permisi, boleh kami bertanya?” Budi bertanya saat mereka sudah dekat dengan dua orang perempuan itu. Anehnya, dua perempuan tersebut berhenti berbicara saat ditanya oleh Budi.

“Maaf, boleh kami bertanya?” kini Diki yang bertanya. Merasa jawabannya tidak direspon, Diki mengulangi pertanyaannya. “Maaf, boleh kami bertanya?”

Salah seorang perempuan tersebut berbalik ke arah Riko. Betapa terkejutnya Riko saat wajah si perempuan sangat mengerikan. Matanya ada tiga, berjajar ke bawah. Mulutnya ada di pipi dan di dagunya tumbuh duri landak.

“Siapa…maksudku, apa itu?” tanya Riko yang terjatuh saking kagetnya.

Diki dan Budi juga tidak tahu, mereka mundur karena ketakutan melihat wajah perempuan pertama. Tiba-tiba, perempuan kedua membalikkan tubuhnya dan terlihat wajahnya yang aneh. Mulutnya berparuh seperti bebek dan hidungnya panjang bergerigi. Mata kanannya seperti mata kucing sementara mata kirinya seperti mata manusia yang terkena katarak.

Budi memberanikan dirinya, ia mendekati perempuan tersebut dan berkata, “Permisi, apakah kalian melihat seorang laki-laki yang memakai jas abu-abu melewati lapangan ini?”

Kedua perempuan itu saling memandang satu sama lain. Tiba-tiba perempuan bertama berteriak dengan nyaring ke arah Budi. Budi menutup kupingnya. Pada saat itulah muncul sayap berwarna hitam kemerahan yang besar dari punggung kedua perempuan tersebut.

Perempuan pertama menggenggam kerah depan baju milik Budi dan terbang membawanya. Sementara itu, perempuan kedua terbang mengikuti yang pertama.

Riko dan Diki terdiam pasrah, tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Mereka melihat dengan mata mereka masing-masing, Riko dibawa terbang makhluk aneh tersebut.

“Sekarang, apa yang harus kita lakukan?” tanya Diki, peluh keringat membasahi tubuhnya.

“Entahlah,” kata Riko. “Tetapi, dimana ini sebenarnya?”

“Maafkan aku,” tiba-tiba sebuah suara yang sepertinya mereka kenali menjawab. “Karena aku kalian jadi terjebak di dunia ini.”

Tiba-tiba muncul retakan kecil di tanah dekat tempat Diki dan Riko berada. Retakan itu membesar hingga muncul sebuah tangan dari dalamnya. Tangan itu terus naik dan mencengkeram tanah. Seperti mayat yang keluar dari kuburnya, sesosok laki-laki yang mereka kenal keluar dari dalam tanah. Lelaki itu adalah orang yang tadi mereka kejar.

“Siapa kau sebenarnya?” tanya Riko. “Dan dimana ini?”

“Kalian kini terjebak di dunia WX45T. Dunia WX45T adalah dunia untuk para monster,” jelas lelaki tersebut. “Sebelumnya, perkenalkan, nama saya Da. Saya adalah penghuni dunia ini.”

“Kalau begitu, aku berikan ini kepadamu,” Riko menyerahkan amplop coklat tersebut kepada si lelaki yang bernama Da.

“Terimakasih banyak, aku sangat membutuhkan ini,” ujar Da. “Tetapi, kalian terjebak di dunia ini karena kejujuran kalian. Apakah kalian suka?”

“Sejujurnya tidak. Tetapi, tolong beritahu kami dimana Budi,” pinta Diki.

“Oh, teman kalian tadi ya,” kata Da. Ia berpikir sejenak. “Baiklah, ayo ikut aku.”

Da berjalan menuju sebuah pohon besar di pinggir lapangan. Ia menyentuh pohon tersebut sambil menggumamkan kata-kata dalam bahasa yang tidak dikenali Riko maupun Diki. Tiba-tiba sebuah lubang terbentuk di depan pohon tersebut, lubang itu bercahaya sangat terang.

“Masuklah, kalian akan aku bawa ke tempat Budi berada,” kata Da.

Diki dan Riko masuk ke lubang tersebut. Mereka merasakan seperti badan mereka dihimpit dari segala arah. Mereka memejamkan mata dan saat itu juga, hawa panas dan dingin yang menyelimuti mereka membuat mereka merasa kurang nyaman. Detik selanjutnya, mereka merasa terbang dengan kecepatan tinggi dan mendarat dengan keras.

Riko dan Diki membuka mata mereka, melihat bahwa mereka sudah berada di tempa lain. Tempat yang lebih suram dan panas dari sebelumnya. Dinding-dinding berdiri dan berbau amis membuat mereka agak jijik.

“Maaf, perjalanan yang kurang mulus, kukira?” tanya Da yang sudah berdiri di samping Riko dan Diki yang terjerembab di tanah.

“Eh, ya, maksudku, dimana ini?” tanya Riko. Kepalanya masih agak pusing.
  
“Di gua Trhus, tempat para Laestrigonians tinggal,” kata Da. “Laestrigonians adalah makhluk-makhluk pemakan daging yang suka bersembunyi. Walau begitu, mereka sangat kompak dan saling mendukung terhadap sesama kaumnya.”

“Dan, aku rasa kita akan—hei, itu Budi!” Riko menunjuk

Riko menunjuk ke sebuah tempat yang dilapisi kaca tipis. Di tempat itu, Budi diikat dengan tali tambang. Riko bergegas ke tempat itu dan memecahkan kaca dengan tangannya. Dengan cepat ia membuka tali yang mengekang Budi dan membawanya ke tempat Diki dan Da berada.

“Ini, aku sudah membawa Budi, sekarang, ayo kita kembali!” kata Riko.

“Baiklah, ayo, pegang tanganku!” perintah Da. Dengan segera, Riko, Diki, dan Budi memegang tangan Da dan mereka merasa menghilang dari tempat itu. Mereka bertiga memejamkan mata mereka, dan sensasi yang dirasakan Diki dan Riko kembali dirasakan mereka bertiga.

Saat mereka membuka mata mereka, mereka sudah berada di depan pohon besar di pinggir lapangan. Budi berdiri, diikuti oleh Diki dan Riko.

“Terimakasih, kalian telah jujur untuk mengembalikan amplop ini,” kata Da tersenyum. Dengan cepat, senyumannya hilang, tergantikan oleh wajah menyesal. “Tetapi maaf, hanya karena ini kalian terancam bahaya."

“Tidak apa-apa Da, kejujuran adalah hal dasar bagi kami,” kata Diki. “Ngomong-ngomong, bisa kembalikan kami ke dunia asal kami?”

“Tentu,” jawab Da, ia mengangguk. Ia memberikan seutas tali kepada Diki. “Pegang tali ini bersama-sama dan pikirkanlah tempat yang ingin kalian tuju. Mudah-mudahan kalian sampai dengan selamat.”

“Ya, terimakasih Da,” kata Riko.

“Sama-sama. Sampai jumpa kapan-kapan.” Da menghilang setelah mengatakan kalimat perpisahannya.

Diki, Riko, dan Budi memegang tali itu bersamaan dan memikirkan tempat dimana mereka ingin tiba. Mereka memikirkan tikungan di dekat tembok yang membawa mereka ke tempat ini. Dalam hitungan detik, mereka menghilang terbawa angin.

Riko, Diki,dan Budi membuka mata mereka, mereka sudah sampai di dunia mereka! Senyuman menghiasi wajah mereka, akhirnya mereka bisa sampai di dunia mereka kembali.

“Baiklah, ayo kita ke konser musik! Siapa tahu belum selesai,” kata Diki.

Mereka berjalan dengan cepat dan berbelok di tikungan. Saking gembiranya, mereka menabrak seseorang berpakaian China. Saat tertabrak, orang China itu tersenyum dan berkata, “Haiya, lu olang abis darimana ha?”

“Eh, maaf, kami mau nonton konser, Koh,” kata Riko.

“Konser? Hehehe…lu olang pasti dari tahun 2012 ha?” kata orang tersebut dengan tertawa.

“Bukannya ini emang tahun 2012 ya Koh?” tanya Riko heran.

Orang cina itu tertawa terbahak-bahak dan berkata dengan lantang, “Kalau begitu, SELAMAT DATANG DI TAHUN 2215!

****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar