Bangkai tikus
tergeletak tak bernyawa. Motor dan mobil melindasnya dengan rasa kesal. Mereka
menyalahkan orang yang membuang bangkai tikus itu sembarangan. Kendaraan mereka
bisa-bisa bau saat sampai rumah. Apalagi jika yang melindas adalah motor yang
dimasukkan ke dalam rumah.
“Setan!”
Arkan mengumpat. “Mereka yang gak punya motor emang gak pernah ngerasain!”
Arkan tetap memacu motornya. Toh, jika sampai di markas,
Jori akan mencuci motornya. Ya, Jori, anak muda berumur 14 tahun itu cukup
dapat diandalkan. Karena putus sekolah, ia mencari kerja kesana kemari.
Akhirnya ia kini menjadi tukang cuci motor.
Arkan memarkirkan motornya di depan sebuah gudang. Ia dan
teman-temannya menyebutnya base.
Tempat ini adalah markas geng Murphy. Geng di mana Arkan adalah salah satu
anggotanya.
Walaupun terlihat berandal, namun geng Murphy dikenal
masyarakat sekitar sebagai kelompok yang suka membantu. Kegiatan-kegiatan
sosial kadang disokong oleh mereka. Tidak jarang banyak warga yang memakai jasa
mereka. Entah itu sebagai penjaga rumah, penyelenggara pesta, penyembelih hewan
kurban, dan lainnya. Bayaran mereka juga tidak terlalu mahal. Masih bisa
dibilang pas.
“Eh, Abang!” Jori menyapa Arkan. Anak pencuci motor itu
tampak baru saja datang.
“Jor, yang laen mana?” tanya Arkan. Sejak tadi ia tidak
melihat ada anggota Murphy yang lain.
“Ga tau, Bang. Saya juga baru dateng.”
“Udah ah, ayo masuk.” Arkan membuka pintu gudang. Tidak
seperti biasanya, lampu masih dimatikan. Jori juga kebingungan. Padahal di
depan markas sudah terdapat empat motor anggota yang lain.
“Nyalain lampunya, Jor!”
Jori segera bergegas mencari saklar lampu.
Arkan mendengar sebuah pekik tertahan dari dalam mulutku
sendiri saat Jori menyalakan lampu. Wajah Jori terlihat pucat pasi. Ia jatuh
berlutut. Arkan seakan tidak memercayai ini. Tujuh mayat anggota geng Murphy
tergeletak dengan sadis di tengah ruangan. Masing-masing dari mayat itu bertelanjang
dada dan memiliki luka yang berbeda.
“Apa-apaan ini?” Arkan kebingungan. Selama geng ini
terbentuk tidak pernah ada masalah besar dengan geng lain. Masalah kecil pasti
ada. Tetapi rasanya terlalu sadis untuk membuatnya menjadi seperti ini.
“Mengapa luka-luka tiap orang berbeda?” tanya Arkan
kepada dirinya sendiri.
“Itu kan suka-suka si pelaku saja.” Jori menjawab
sekenanya.
Mayat pertama adalah anggota geng baru bernama Sarto.
Terdapat empat peluru yang melubangi dadanya. Peluru itu ada di garis yang
sejajar satu sama lain. Mayat kedua adalah Sandri, seorang yang cukup
berpengaruh di geng Murphy. Tiga peluru sejajar telah menewaskannya. Mayat
ketiga dan keempat adalah si kembar Amri dan Armi. Keduanya memiliki luka yang
sama. Yaitu dua buah goresan pisau dan di kanan dan kirinya terdapat bekas
tembakan. Mayat kelima memiliki dua bekas peluru. Mayat keenam memiliki hanya
satu bekas peluru. Dan mayat terakhir, yaitu Darma, sang ketua, meninggal
dengan tiga bekas peluru di dada.
“Tidak Jori, ini aneh. Si pelaku seakan ingin
meninggalkan sebuah pesan,” tegas Arkan. Ia mengambil buku catatan dari saku
jaketnya dan mencoba menggambar bekas luka tersebut.
Korban
pertama: .... Korban kedua: ... Korban ketiga: .--. Korban keempat: .--. Korban
kelima: .. Korban keenam: . Korban ketujuh: ...
“Itu…morse?” Jori terkejut melihat pola tersebut.
“Ya. Sebentar, biar kuartikan… H-I-P-P-I-E-S! Hippies!
Apa itu? Nama geng baru?” Arkan bertanya.
“Abang lupa? Hippies itu nama geng yang markasnya di
dekat danau. Yang tempo hari pernah punya masalah sama kita.”
“Ah, ya! Tapi itu kan masalah kecil. Lagipula kita udah
damai kok!”
“Sekarang lebih baik kita ke sana!”
“Terus, mayat-mayat ini?”
“Biarkan saja. Nanti kita beritahu polisi setelah ke
markas Hippies.”
Arkan mengangguk. Ia menghidupkan motornya. Jori naik di
belakang. Arkan segera memacu motornya ke sebuah tempat penjualan alat
pemancingan yang merupakan markas sebuah geng.
*
Arkan menghentikan
motornya. Ia dan Jori turun dan segera menuju pintu markas Hippies yang
tertutup. Tanpa mengetuk, Arkan segera membuka pintunya. Ternyata tidak
dikunci. Di dalam, ternyata sama gelapnya seperti markas Murphy yang tadi.
Tiba-tiba lampunya menyala dengan sendirinya. Dan
terlihatlah, seorang lelaki pirang bertubuh besar berdiri di samping saklar.
Matanya berwarna biru dan tubuhnya bisa dibilang jangkung. Di tenga ruangan,
terdapat juga tiga mayat yang meninggal dengan tombak menancap di jantung
ketiga mayat tersebut.
“Siapa kau?” Arkan langsung bertanya.
“Pada akhir tahun 1960-an, terjadi sebuah protes
besar-besaran di Amerika,” Si lelaki asing tidak mengindahkan pertanyaan Arkan.
“Gerakan protes ini dilakukan oleh abak-anak muda yang menginginkan sebuah
perubahan sosial dan politik. Mereka dikenal sebagai Beatniks.”
“Beatniks?” Arkan samar-samar mengenal nama itu. Ketua
geng Murphy pernah menyampaikan sesuatu mengenai Beatniks. Tetapi Sialnya, ia
lupa percakapan antara sang ketua dengannya.
“Kau tahu, rupanya. Jelas saja. Sebagai tangan kanan
ketua geng Murphy, sang ketua pasti telah memberitahukannya kepadamu. Kau ingat
sesuatu, kawan?” Lelaki asing itu mendesak Arkan.
Sekarang Arkan teringat sesuatu. “Beatniks… ya, aku
pernah mendengarnya. Itu adalah gerakan para generasi muda yang cenderung
menerapkan kehidupan bebas dengan berpakaian seenaknya dan menggunakan obat-obatan
terlarang. Apa maksudmu mengungkit-ungkit masalah ini?”
“Gerakan yang
dipelopori generasi muda itu kemudian di tahun 1960-an meluas keluar lingkungan
mereka dan mereka menyampaikan protest sosial secara massal, mencakup antara
lain gerakan untuk pembaharuan politik termasuk sebagai gerakan anti-perang
Vietnam yang saat itu lagi ramai dan hak-hak mengenai asasi manusia. Dan,
protes besar-besaran pada saat itu pun melahirkan sebuah kelompok yang
menamakan mereka sebagai generasi…. Kurasa kau lebih tahu jawabannya.” Lelaki
asing itu menatap Arkan.
“Generasi
Hippies,” Arkan sekarang mengingat percakapannya dengan sang ketua. “Mereka
adalah kelompok yang memopulerkan gerakan damai, sadar akan lingkungan, dan
penolakan akan materialism Barat. Dan kau, bermaksud mengulangi kejadian itu.”
Lelaki asing itu
tertawa. Jori hanya bisa melihat percakapan dua orang ini. “Ya. Tetapi bosmu
menentangnya. Aku terpaksa membunu tujuh orang itu. Sayan sekali kau tidak ada
di TKP. Padahal aku juga memintamu datang karena kau sudah mengetahui
permasalahan ini.”
Arkan terkesiap.
Pukul tujuh tadi pagi ia mendapat SMS dari nomor sang ketua Murphy untuk
berkumpul. Ternyata lelaki asing ini yang ingin menipunya. Sayangnya Arkan baru
terbangun pukul sembilan. Dan ia selamat karena terlambat. Lelaki asing ini pun
segera meninggalkan pesan yang mmudah dipecahkan dan membuat Arkan datang ke
sini. Tetapi, siapa mayat yang berada di tengah ruangan ini? Rasanya ia sering
melihatnya.
“Ini Wakil
Gubernur,” jawab lelaki asing itu. Ia seolah mengetahui pikiran Arkan. “Aku
membunuhnya. Yang kau tidak tahu, ia dan ketua Murphy serta enam orang yang aku
bunuh tadi berencana membentuk suatu aliansi untuk menghancurkan kami para
Hippies. Aku harus menghentikannya.”
“Kau membunuh
Wakil Gubernur? Kau sudah gila!” Jori berkata. Ia ingin mengambil bagian kali
ini.
“Apa tujuanmu?”
Arkan bertanya. Ia ingin segera mengakhiri ini.
“Menghidupkan
kembali generasi Hippies yang telah lama tertidur,” jawabnya singkat. “Dan kami
akan kembali menghidupkan gerakan ‘Flower Power’ yang akan merubah negeri ini.
Sekarang para anggota Hippies sedang berkumpul di suatu tempat. Kami telah
bersiap untuk sebuah revolusi yang akan membuat ideologi baru dalam…”
Belum selesai
lelaki asing itu berbicara, Arkan meninju wajahnya. Lelaki itu mengaduh. “Kau
membunuh orang hanya untuk tujuan aneh ini?” Arkan kembali memukul rahang
lelaki asing itu. Sebuah ID Card terjatuh dari saku bajunya.
“Tierry Mason.
Seorang pegawai di sebuah karyawan di bank swasta. Dan aku tahu, kau berencana
untuk membuat pemberontakan dimulai dari sana.”
“Kau benar nak,
tetapi kau salah. Kami adalah gerakan pencinta damai. Kami hanya akan melakukan
penghasutan. Bukan kami yang akan menyerang. Tetapi orang-orang yang
terhasutlah yang akan menyerang.”
Arkan kembali
memukul Tierry. Tetapi kini Tierry lebih sigap. Ia menunduk dan menyabet kaki
Arkan hingga Arkan terjatuh.
Jori tidak
tinggal diam, ia menerjang. Tetapi sebelum serangan Jori mencapai tubuhnya,
Tierry telah memukulnya terlebih dahulu.
“Kalian mengaku
cinta damai? Dasar iblis kalian! Tindakan kalian berkontradiksi dengan semboyan
‘Make love, not war’! Kalian hanya kaki tangan liberal!”
“Kedamaian
didapat lewat kekerasan. Kau harus tahu itu. Amerika berdamai dengan Jerman
karena mereka menghancurkan Jerman. Kau harus menghancurkan seseorang untuk
membuat ia mau berdamai denganmu!”
“Itu pemaksaan,
bodoh! Tak ada yang mau menerima ideologi busukmu! Flower Power hanya pemanis.
Kau bisa bergerak kapan saja, kan? Mengapa harus menunggu lama? Oh, aku tahu,
kalian menunggu perintah dari atasan kalian. Ya, kalian hanya pion.”
“Kami bukan
pion!” Tierry mencengkeram leher Arkan dan mengangkatnya. “Kami bergerak karena
kehendak…”
“Kehendak para
tetua, ya! Tetua pasti sangat berpengaruh sehingga dapat menggerakkan kalian.”
Tierry melempar
Arkan. Arkan terjatuh. “Tetua itu tidak ada! Mereka hanya bualan!” Tierry
mengerang.
Brak!
Pintu didobrak
dengan paksa. Puluhan polisi merangsek masuk ke dalam tempat kecil itu.
“Menyerahlah, Tierry, kami sudah mendengar semuanya!”
Tierry terkejut.
Tetapi keterkejutannya berubah menjadi kemerahan saat melihat bahwa Jori sedang
menggenggam handphone. Ia sadar karena mengacuhkan anak kecil itu. Ternyata
sejak tadi handphonenya telah tersambung kepada para polisi ini.
“Ya, kami telah
menghubungi polisi terlebih dahulu. Dan handphone itu kami jadikan penghubung.
Sekarang bukti telah cukup. Katakan di mana anggota yang lain?”
Tierry mengumpat
dalam bahasa Inggris. “Aku tidak akan membocorkan informasi!” Terry berjanji.
“Tierry!” Arkan
memanggil. Tierry menoleh ke arahnya. “Lupakan semua rencana busukmu. Pancasila
tidak bisa diganti dengan liberal. Apalagi liberal yang sudah kau cemari.”
Tierry hanya
tersenyum kecut. Ia segera dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan
lebih lanjut. Terdapat kelegaan di wajah Jori. Namun tidak sama halnya dengan
Arkan. Wajahnya diliputi kecemasan. Ia telah mengingat dengan jelas
percakapannya dengan Darma, sang ketua, waktu itu.
|/\|\/|
“Bagaimana dengan Tierry?” Jori bertanya penasaran kepada Arkan.
“Ia menepati
janjinya untuk tidak membocorkan informasi. Tetapi polisi berhasil menangkap
anak buahnya. Mereka menemukan si anak buah sedang berjalan ke markas. Mungkin
heran dengan perintah yang begitu lama. Nah, untung bagi kita karena si anak
buahnya ini dengan mudah membocorkan informasi. Ide gila Tierry pun tidak
terlaksana.”
“Itu semua idenya
Tierry?”
“Tidak juga,”
Arkan mencoba serius. “Tentu saja ada lagi yang lebih besar dari Tierry. Tierry
telah dimanfaatkan mereka tanpa sepengetahuannya. Tetapi saat kejadian kemarin
aku kira dia menyadarinya.”
“Dari mana? Dari
kata-kata ‘tetua’ yang Abang bilang?” Jori menebak.
“Wah, hebat kamu
bisa menyadarinya.”
“Memangnya tetua
itu siapa, Bang?” Jori terus mendesak.
“Belum saatnya
kau mengetahui. Lebih baik kita perkuat geng Murphy ini. Karena cepat atau
lambat mereka pasti akan bergerak.”
“Mereka? Siapa
itu mereka?” Jori semakin bersemangat.
“Oh, tidak. Tidak
sekarang. Tetapi aku berjanji kau akan mengetahuinya dengan sendirinya.” Arkan
berdiri. Ia merapikan bajunya.
“Mau kemana,
Bang?”
“Memersiapkan
segalanya.” Arkan lalu bergegas sambil tersenyum. Jori hanya bisa kebingungan.
Arkan tahu ini semua akan menjadi semakin rumit di kemudian hari. Tidak hanya
generasi Hippies lain yang akan ia hadapi. Mungkin lebih besar dari itu. Hanya
saja ia belum memberitahukannya kepada Jori. Ia masih terlalu muda untuk
mengetahuinya. Tetapi suatu hari nanti, ia akan mewariskan pengetahuan ini.
|\/|/\|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar