Sabtu, 18 Agustus 2012

Kebangkitan Hippies


Bangkai tikus tergeletak tak bernyawa. Motor dan mobil melindasnya dengan rasa kesal. Mereka menyalahkan orang yang membuang bangkai tikus itu sembarangan. Kendaraan mereka bisa-bisa bau saat sampai rumah. Apalagi jika yang melindas adalah motor yang dimasukkan ke dalam rumah.

“Setan!” Arkan mengumpat. “Mereka yang gak punya motor emang gak pernah ngerasain!”

            Arkan tetap memacu motornya. Toh, jika sampai di markas, Jori akan mencuci motornya. Ya, Jori, anak muda berumur 14 tahun itu cukup dapat diandalkan. Karena putus sekolah, ia mencari kerja kesana kemari. Akhirnya ia kini menjadi tukang cuci motor.

            Arkan memarkirkan motornya di depan sebuah gudang. Ia dan teman-temannya menyebutnya base. Tempat ini adalah markas geng Murphy. Geng di mana Arkan adalah salah satu anggotanya.


            Walaupun terlihat berandal, namun geng Murphy dikenal masyarakat sekitar sebagai kelompok yang suka membantu. Kegiatan-kegiatan sosial kadang disokong oleh mereka. Tidak jarang banyak warga yang memakai jasa mereka. Entah itu sebagai penjaga rumah, penyelenggara pesta, penyembelih hewan kurban, dan lainnya. Bayaran mereka juga tidak terlalu mahal. Masih bisa dibilang pas.

            “Eh, Abang!” Jori menyapa Arkan. Anak pencuci motor itu tampak baru saja datang.

            “Jor, yang laen mana?” tanya Arkan. Sejak tadi ia tidak melihat ada anggota Murphy yang lain.

            “Ga tau, Bang. Saya juga baru dateng.”

         “Udah ah, ayo masuk.” Arkan membuka pintu gudang. Tidak seperti biasanya, lampu masih dimatikan. Jori juga kebingungan. Padahal di depan markas sudah terdapat empat motor anggota yang lain.
  
          “Nyalain lampunya, Jor!”

          Jori segera bergegas mencari saklar lampu.

       Arkan mendengar sebuah pekik tertahan dari dalam mulutku sendiri saat Jori menyalakan lampu. Wajah Jori terlihat pucat pasi. Ia jatuh berlutut. Arkan seakan tidak memercayai ini. Tujuh mayat anggota geng Murphy tergeletak dengan sadis di tengah ruangan. Masing-masing dari mayat itu bertelanjang dada dan memiliki luka yang berbeda.

      “Apa-apaan ini?” Arkan kebingungan. Selama geng ini terbentuk tidak pernah ada masalah besar dengan geng lain. Masalah kecil pasti ada. Tetapi rasanya terlalu sadis untuk membuatnya menjadi seperti ini.

            “Mengapa luka-luka tiap orang berbeda?” tanya Arkan kepada dirinya sendiri.

            “Itu kan suka-suka si pelaku saja.” Jori menjawab sekenanya.

        Mayat pertama adalah anggota geng baru bernama Sarto. Terdapat empat peluru yang melubangi dadanya. Peluru itu ada di garis yang sejajar satu sama lain. Mayat kedua adalah Sandri, seorang yang cukup berpengaruh di geng Murphy. Tiga peluru sejajar telah menewaskannya. Mayat ketiga dan keempat adalah si kembar Amri dan Armi. Keduanya memiliki luka yang sama. Yaitu dua buah goresan pisau dan di kanan dan kirinya terdapat bekas tembakan. Mayat kelima memiliki dua bekas peluru. Mayat keenam memiliki hanya satu bekas peluru. Dan mayat terakhir, yaitu Darma, sang ketua, meninggal dengan tiga bekas peluru di dada.

           “Tidak Jori, ini aneh. Si pelaku seakan ingin meninggalkan sebuah pesan,” tegas Arkan. Ia mengambil buku catatan dari saku jaketnya dan mencoba menggambar bekas luka tersebut.
Korban pertama: .... Korban kedua: ... Korban ketiga: .--. Korban keempat: .--. Korban kelima: .. Korban keenam: . Korban ketujuh: ...
           
           “Itu…morse?” Jori terkejut melihat pola tersebut.

       “Ya. Sebentar, biar kuartikan… H-I-P-P-I-E-S! Hippies! Apa itu? Nama geng baru?” Arkan bertanya.
       
     “Abang lupa? Hippies itu nama geng yang markasnya di dekat danau. Yang tempo hari pernah punya masalah sama kita.”

           “Ah, ya! Tapi itu kan masalah kecil. Lagipula kita udah damai kok!”
   
         “Sekarang lebih baik kita ke sana!”

            “Terus, mayat-mayat ini?”

            “Biarkan saja. Nanti kita beritahu polisi setelah ke markas Hippies.”

        Arkan mengangguk. Ia menghidupkan motornya. Jori naik di belakang. Arkan segera memacu motornya ke sebuah tempat penjualan alat pemancingan yang merupakan markas sebuah geng.

*

Arkan menghentikan motornya. Ia dan Jori turun dan segera menuju pintu markas Hippies yang tertutup. Tanpa mengetuk, Arkan segera membuka pintunya. Ternyata tidak dikunci. Di dalam, ternyata sama gelapnya seperti markas Murphy yang tadi.

            Tiba-tiba lampunya menyala dengan sendirinya. Dan terlihatlah, seorang lelaki pirang bertubuh besar berdiri di samping saklar. Matanya berwarna biru dan tubuhnya bisa dibilang jangkung. Di tenga ruangan, terdapat juga tiga mayat yang meninggal dengan tombak menancap di jantung ketiga mayat tersebut.

            “Siapa kau?” Arkan langsung bertanya.

            “Pada akhir tahun 1960-an, terjadi sebuah protes besar-besaran di Amerika,” Si lelaki asing tidak mengindahkan pertanyaan Arkan. “Gerakan protes ini dilakukan oleh abak-anak muda yang menginginkan sebuah perubahan sosial dan politik. Mereka dikenal sebagai Beatniks.”

            “Beatniks?” Arkan samar-samar mengenal nama itu. Ketua geng Murphy pernah menyampaikan sesuatu mengenai Beatniks. Tetapi Sialnya, ia lupa percakapan antara sang ketua dengannya.

            “Kau tahu, rupanya. Jelas saja. Sebagai tangan kanan ketua geng Murphy, sang ketua pasti telah memberitahukannya kepadamu. Kau ingat sesuatu, kawan?” Lelaki asing itu mendesak Arkan.

            Sekarang Arkan teringat sesuatu. “Beatniks… ya, aku pernah mendengarnya. Itu adalah gerakan para generasi muda yang cenderung menerapkan kehidupan bebas dengan berpakaian seenaknya dan menggunakan obat-obatan terlarang. Apa maksudmu mengungkit-ungkit masalah ini?”

            “Gerakan yang dipelopori generasi muda itu kemudian di tahun 1960-an meluas keluar lingkungan mereka dan mereka menyampaikan protest sosial secara massal, mencakup antara lain gerakan untuk pembaharuan politik termasuk sebagai gerakan anti-perang Vietnam yang saat itu lagi ramai dan hak-hak mengenai asasi manusia. Dan, protes besar-besaran pada saat itu pun melahirkan sebuah kelompok yang menamakan mereka sebagai generasi…. Kurasa kau lebih tahu jawabannya.” Lelaki asing itu menatap Arkan.

            “Generasi Hippies,” Arkan sekarang mengingat percakapannya dengan sang ketua. “Mereka adalah kelompok yang memopulerkan gerakan damai, sadar akan lingkungan, dan penolakan akan materialism Barat. Dan kau, bermaksud mengulangi kejadian itu.”

        Lelaki asing itu tertawa. Jori hanya bisa melihat percakapan dua orang ini. “Ya. Tetapi bosmu menentangnya. Aku terpaksa membunu tujuh orang itu. Sayan sekali kau tidak ada di TKP. Padahal aku juga memintamu datang karena kau sudah mengetahui permasalahan ini.”

            Arkan terkesiap. Pukul tujuh tadi pagi ia mendapat SMS dari nomor sang ketua Murphy untuk berkumpul. Ternyata lelaki asing ini yang ingin menipunya. Sayangnya Arkan baru terbangun pukul sembilan. Dan ia selamat karena terlambat. Lelaki asing ini pun segera meninggalkan pesan yang mmudah dipecahkan dan membuat Arkan datang ke sini. Tetapi, siapa mayat yang berada di tengah ruangan ini? Rasanya ia sering melihatnya.

         “Ini Wakil Gubernur,” jawab lelaki asing itu. Ia seolah mengetahui pikiran Arkan. “Aku membunuhnya. Yang kau tidak tahu, ia dan ketua Murphy serta enam orang yang aku bunuh tadi berencana membentuk suatu aliansi untuk menghancurkan kami para Hippies. Aku harus menghentikannya.”
   
         “Kau membunuh Wakil Gubernur? Kau sudah gila!” Jori berkata. Ia ingin mengambil bagian kali ini.

         “Apa tujuanmu?” Arkan bertanya. Ia ingin segera mengakhiri ini.

         “Menghidupkan kembali generasi Hippies yang telah lama tertidur,” jawabnya singkat. “Dan kami akan kembali menghidupkan gerakan ‘Flower Power’ yang akan merubah negeri ini. Sekarang para anggota Hippies sedang berkumpul di suatu tempat. Kami telah bersiap untuk sebuah revolusi yang akan membuat ideologi baru dalam…”

            Belum selesai lelaki asing itu berbicara, Arkan meninju wajahnya. Lelaki itu mengaduh. “Kau membunuh orang hanya untuk tujuan aneh ini?” Arkan kembali memukul rahang lelaki asing itu. Sebuah ID Card terjatuh dari saku bajunya.

            “Tierry Mason. Seorang pegawai di sebuah karyawan di bank swasta. Dan aku tahu, kau berencana untuk membuat pemberontakan dimulai dari sana.”

           “Kau benar nak, tetapi kau salah. Kami adalah gerakan pencinta damai. Kami hanya akan melakukan penghasutan. Bukan kami yang akan menyerang. Tetapi orang-orang yang terhasutlah yang akan menyerang.”

           Arkan kembali memukul Tierry. Tetapi kini Tierry lebih sigap. Ia menunduk dan menyabet kaki Arkan hingga Arkan terjatuh.

            Jori tidak tinggal diam, ia menerjang. Tetapi sebelum serangan Jori mencapai tubuhnya, Tierry telah memukulnya terlebih dahulu.

            “Kalian mengaku cinta damai? Dasar iblis kalian! Tindakan kalian berkontradiksi dengan semboyan ‘Make love, not war’! Kalian hanya kaki tangan liberal!”

            “Kedamaian didapat lewat kekerasan. Kau harus tahu itu. Amerika berdamai dengan Jerman karena mereka menghancurkan Jerman. Kau harus menghancurkan seseorang untuk membuat ia mau berdamai denganmu!”

            “Itu pemaksaan, bodoh! Tak ada yang mau menerima ideologi busukmu! Flower Power hanya pemanis. Kau bisa bergerak kapan saja, kan? Mengapa harus menunggu lama? Oh, aku tahu, kalian menunggu perintah dari atasan kalian. Ya, kalian hanya pion.”

            “Kami bukan pion!” Tierry mencengkeram leher Arkan dan mengangkatnya. “Kami bergerak karena kehendak…”

            “Kehendak para tetua, ya! Tetua pasti sangat berpengaruh sehingga dapat menggerakkan kalian.”

        Tierry melempar Arkan. Arkan terjatuh. “Tetua itu tidak ada! Mereka hanya bualan!” Tierry mengerang.
  
          Brak!

       Pintu didobrak dengan paksa. Puluhan polisi merangsek masuk ke dalam tempat kecil itu. “Menyerahlah, Tierry, kami sudah mendengar semuanya!”
  
          Tierry terkejut. Tetapi keterkejutannya berubah menjadi kemerahan saat melihat bahwa Jori sedang menggenggam handphone. Ia sadar karena mengacuhkan anak kecil itu. Ternyata sejak tadi handphonenya telah tersambung kepada para polisi ini.

            “Ya, kami telah menghubungi polisi terlebih dahulu. Dan handphone itu kami jadikan penghubung. Sekarang bukti telah cukup. Katakan di mana anggota yang lain?”

            Tierry mengumpat dalam bahasa Inggris. “Aku tidak akan membocorkan informasi!” Terry berjanji.
  
         “Tierry!” Arkan memanggil. Tierry menoleh ke arahnya. “Lupakan semua rencana busukmu. Pancasila tidak bisa diganti dengan liberal. Apalagi liberal yang sudah kau cemari.”

            Tierry hanya tersenyum kecut. Ia segera dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan lebih lanjut. Terdapat kelegaan di wajah Jori. Namun tidak sama halnya dengan Arkan. Wajahnya diliputi kecemasan. Ia telah mengingat dengan jelas percakapannya dengan Darma, sang ketua, waktu itu.

|/\|\/|

“Bagaimana dengan Tierry?” Jori bertanya penasaran kepada Arkan.

            “Ia menepati janjinya untuk tidak membocorkan informasi. Tetapi polisi berhasil menangkap anak buahnya. Mereka menemukan si anak buah sedang berjalan ke markas. Mungkin heran dengan perintah yang begitu lama. Nah, untung bagi kita karena si anak buahnya ini dengan mudah membocorkan informasi. Ide gila Tierry pun tidak terlaksana.”

            “Itu semua idenya Tierry?”

            “Tidak juga,” Arkan mencoba serius. “Tentu saja ada lagi yang lebih besar dari Tierry. Tierry telah dimanfaatkan mereka tanpa sepengetahuannya. Tetapi saat kejadian kemarin aku kira dia menyadarinya.”

            “Dari mana? Dari kata-kata ‘tetua’ yang Abang bilang?” Jori menebak.

            “Wah, hebat kamu bisa menyadarinya.”

            “Memangnya tetua itu siapa, Bang?” Jori terus mendesak.

            “Belum saatnya kau mengetahui. Lebih baik kita perkuat geng Murphy ini. Karena cepat atau lambat mereka pasti akan bergerak.”

            “Mereka? Siapa itu mereka?” Jori semakin bersemangat.

            “Oh, tidak. Tidak sekarang. Tetapi aku berjanji kau akan mengetahuinya dengan sendirinya.” Arkan berdiri. Ia merapikan bajunya.

            “Mau kemana, Bang?”

            “Memersiapkan segalanya.” Arkan lalu bergegas sambil tersenyum. Jori hanya bisa kebingungan. Arkan tahu ini semua akan menjadi semakin rumit di kemudian hari. Tidak hanya generasi Hippies lain yang akan ia hadapi. Mungkin lebih besar dari itu. Hanya saja ia belum memberitahukannya kepada Jori. Ia masih terlalu muda untuk mengetahuinya. Tetapi suatu hari nanti, ia akan mewariskan pengetahuan ini.
|\/|/\|

Tidak ada komentar:

Posting Komentar