Minggu, 19 Agustus 2012

Pahlawan Terakhir


Minggu, 19 Februari 2012 – 09.00

Ia datang! Dari arah utara, ia datang mengenakan jas dan pakaian yang rapi. Rambutnya tertata rapi dan hitam bersih. Sepatunya mengkilat seperti baru saja disemir. Celananya disetrika licin. Tidak ada lipatan pada celana bahannya yang berwarna hitam. Jaket mahalnya bersih dan rapi. Ia nyaris sempurna.

            Aku melihatnya. Aku tidak terpana. Aku malah semakin waspada. Bisa jadi ia adalah orang yang dimaksudkan Mos. Tidak, bukan bisa jadi. Ia memang orang yang dikatakan Mos kepadaku. Ciri-cirinya sama seperti yang tadi ia sampaikan lewat sebuah surat. Surat dengan aksara sunda itu memang sulit dibaca. Tetapi perintahnya jelas: Bungkam Drino!


            “Sedang apa, Din?” Suara bariton Latra mengagetkanku.

            “Tra, ngagetin aja… Bukan apa-apa. Ini lagi menunggu teman.”

            Latra. Lelaki lugu itu tiba-tiba muncul di belakangku. Pernah suatu hari katanya apa arti namanya. Saat kutanya apa arti dari Latra, ia hanya menjawab sambil tersenyum, “Lelaki asal Sumatera.”

            “Eh, lu sendiri ngapain di sini?” tanyaku kepada Latra. Ini hari Minggu. Tidak seharusnya ia berada di sekolah.

            “Mau ngambil barang ketinggalan. Oke, gua cari barangnya dulu ya!” Latra pun langsung pergi.

            Aku segera berdiri. Aku keluar dari gerbang sekolah dan kulihat lelaki berjas itu telah cukup jauh. Tidak salah lagi, lelaki itu adalah Drino. Aku segera bergegas menyusulnya. Mungkin belum terlambat. Dari yang aku lihat, Drino adalah seorang lelaki berumur sekitar 27 tahun. Tetapi kata Mos, Drino itu berumur 44 tahun. Entahlah. Tetapi wajahnya terlihat sangat muda.

        Aku mengikutinya. Kupercepat langkahku. Ia berbelok. Langkahnya tetap dan pasti. Aku mengikutinya. Kini jarak kami cukup dekat. Memang tidak terlalu dekat, yah sekitar 20 meter. Yang penting aku dapat mengawasinya.

           Aku berjalan dan terus berjalan. Berharap ia tidak menyadari keberadaanku. Aku mencoba berjalan dengan posisi biasa.

            Dukkk!

Sebuah batu menghantam kepalaku. Aku terjatuh. Pusing. Aku mencoba melihat ke belakang. Aku melihat orang yang menyerangku. Dia…tidak mungkin.

*

Minggu, 19 Februari 2012 – 08.45

Apakah dia berhasil? Pertanyaan itu yang sedari tadi menghantuiku. Aku sadar bahwa Drino itu iblis. Ia sang pengendali. Ia dapat mengendalikan semuanya. Apakah aku telah mengambil keputusan yang tepat? Apakah benar pilihanku saat tadi aku memanggil Nadine?

            Nadine. Perempuan SMA itu sangat cerdas. Mungkin pilihanku tepat untuk menyuruhnya mengawasi Drino. Tetapi apakah pilihanku itu benar?

            “Mereka melihatnya berjalan.” Suara seorang lelaki bertubuh tambun itu mengagetkanku. Aku 
bahkan sampai lupa kalau dari tadi ia berada di depanku.

            “Siapa yang kau maksud ‘mereka’? Dan siapa yang dilihat oleh mereka berjalan?” tanyaku pura-pura tidak tahu.

            “Anak buahku. Mereka melihat Nadine sudah mulai berjalan. Ia menuruti perintahmu,” jawabnya.

            Aku terkejut. Kapan aku memberitahunya bahwa aku mengirim Nadine untuk mengikuti Drino? Nasir, lelaki tambun di depannya ini memang misterius dan tak dapat diperkirakan.

            “Dari siapa kau mengetahui semua itu?” Aku bertanya kepadanya.

            Nasir tertawa kecil. “Aku mengetahui lebih banyak dari yang kau tahu. Tapi hati-hati, Mos. Nadine bisa jadi sudah bertemu dengan Ratral.”

            Aku kembali tertegun. Hal itu bisa saja terjadi. Ratral adalah seorang kriminal. Ratral tidak jarang menyamar menjadi diriku. Aku adalah Mos, salah satu pemegang kendali dari gerakan ini. Kelompok bawah tanah yang diusung oleh Samuel Wittrhey ini bertujuan untuk menangkap kriminal-kriminal kelas kakap. Komplotan kriminal yang hendak kami tangkap dikomandoi oleh tiga orang penjahat ulung. Tiga orang itu adalah Drino, Ratral, dan Daniel.

            Aku memang salut kepada tiga orang itu. Mereka pertama kali beraksi dengan cara mengacau di Bundaran HI. Saat itu menlu Amerika Serikat sedang berkunjung. Tiba-tiba ada sebuah ledakan yang cukup besar. Tiga orang itu melalui e-mail kepada Presiden dengan rendah hati mengaku sebagai dalang kejadian tersebut. Selain itu mereka juga sudah sering sekali membuat kekacauan seperti menyabotase beberapa perusahaan asing dan membuat kerugian di sana.

Daniel adalah seorang warga berkebangsaan Australia-Jerman. Ia merupakan adik kandung dari Samuel Wittrhey. Daniel dikenal karena ia dapat melewati pagar setebal apapun dan kunci serumit apapun.

            Ratral. Lelaki kurus yang pandai dalam menyamar. Ia bisa menjadi siapa saja, kapan saja dan di mana saja. Pertama kali beraksi pada tahun 2003. Saat itu ia menjadi dalang penipuan. Kemampuannya menyamar tidak dapat ditandingi. Aku bahkan mencuigai bahwa Nasir sebenarnya adalah Ratral yang menyamar.

            Drino. Ia sudah seperti dewa. Sang pengendali. Ia mengendalikan semuanya di balik layar. Sehari-harinya berprofesi sebagai seorang karyawan di salah satu Bank umum. Bagiku, Drino tidak licin seperti belut. Melainkan tak terlihat seperti bunglon. Tidak, bukan bunglon, ia adalah bakteri, atau mungkin virus. Jangankan menangkapnya, membuntutinya saja sudah sulit. Semua pohon seolah menjadi matanya. Semua hewan menjadi telinganya. Mungkin terdengar berlebihan, tetapi memang begitu kenyataannya.

            “Sudah ada kontak,” kata Nasir tiba-tiba. “Salah satu anak buahku berkata bahwa Drino sudah terlihat. Oh ya, Mos, kukira kau harus melihat ini.”

            Nasir menyerahkan selembar kertas padaku. Aku melihatnya. Tidak mungkin… Membaca kertas itu seolah melihat matahari sedang berguling-guling. Mustahil. Aku tidak dapat memercayai mataku.

            “Darimana kau mendapatkan ini?” tanyaku. Aku tidak bisa sembarangan memercayainya.

            “Informan terpercaya. Aku meletakkan dua orang untuk menyusup di komplotan mereka. Dan itu hasilnya.”

            Aku tidak habis pikir. Aku gelap mata. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Mungkin aku dapat pergi ke tempat kejadian untuk menghentikan aksi yang sudah kepalang tanggung ini.

            “Aku akan pergi mengatasi ini!” kata Nasir. Ia segera bangkit berdiri.

            “Tapi…” Aku mencoba menahannya.

            “Aku yang akan bertanggung jawab.” Nasir segera berlalu. Ia segera pergi.

            Nasir sudah keluar dari ruangan ini. Aku sendiri di sini. Masih bingung apa yang akan aku lakukan. Aku berdiri dan membulatkan tekad. Aku akan menghentikannya! Aku akan menghentikan semua ini sebelum menjadi-jadi.

            Aku pergi ke ruang belakang. Mengambil sepucuk pistol dan dua magasin peluru. Aku sadar bahwa ini mempertaruhkan nama Indonesia. Drino dan Ratral adalah dua orang Indonesia. Jika mereka berhasil mencapai rencana mereka, yang akan terjadi adalah sebuah kehancuran.

            Ya, aku berjanji untuk mengakhiri ini. Aku bersalah karena menyuruhnya. Aku tidak menyangka bahwa Nadine berkhianat. Aku harus menyelesaikannya!

*

Minggu, 19 Februari 2012 – 09.30

            Apa-apaan ini? Seharusnya tidak seperti ini. Aku tidak pernah melihatnya meringkuk. Biasanya orang-oranglah yang meringkuk di depannya. Tetapi kini aku melihatnya meringkuk di depan seorang pribumi. Darah mengucur dari mulutnya. Baru pertama kali aku melihatnya begitu.

            “Semuanya sudah berakhir Dan, semua sudah berakhir.” Pribumi itu berkata pelan.

       “Belum, Mos, ini belum berakhir. Aku dapat kabur kapanpun aku mau. Tetapi aku ingin membicarakan sesuatu denganmu.”

            Dorr!

            Suara tembakan terdengar. Kali ini mengenai lengan kanan Daniel. Ya, Daniel. Ia seharusnya dapat kabur. Tetapi aku tidak tahu alasannya untuk tetap berdiam diri di sana.

            “Indonesia akan menjadi negara maju, Mos, sadari itu! Drino dan Ratral berusaha mewujudkan hal itu!” Daniel kembali berteriak.

            “Omong kosong! Apa yang didapat dari mereka hanyalah nama buruk bagi Indonesia. Jangan kau pikir jika Indonesia memonopoli perdagangan itu berarti negara ini akan maju. Indonesia akan dianggap hanya mementingkan egonya sendiri!”

            Daniel langsung berdiri dengan cepat dan berdiri ke samping lelaki yang tadi dipanggil Mos. Saat si Mos itu ingin mengarahkan pistolnya ke arah Daniel, dengan cepat Daniel menjatuhkan pistol itu dari tangannya.

            “Ego? Kau bilang ini ego Indonesia? Bagaimana dengan Amerika? Jerman? Apakah kau masih bisa berkata bahwa yang mereka lakukan bukanlah egoisme? Kau telah terlalu lama menutup matamu kalau begitu.”

            “Bukan itu yang kumaksud!” Mos balas berteriak. “Masih banyak cara untuk memajukan Indonesia. Tetapi bukan dengan cara memaksa seperti itu!”

            “Memaksa tidak selalu salah. Terkadang perlu sebuah pemaksaan untuk mencapai tujuan.” Daniel tetap bersikukuh. “Kau terlalu naïf, Mos. Kau harus sadar bahwa kami bukanlah penjahat sebenarnya.”

           Aku mendengar Mos bertanya balik kepada Daniel. Lalu Daniel menjawabnya. Jawaban yang sangat mengejutkanku. Aku terjatuh lemas. Tidak mungkin. Begitu juga dengan sang pribumi. Tangannya bergetar.

            Buukk!

            Seorang lelaki memukulku dari belakang. Aku segera berbalik. Kulihat dirinya di belakangku. Aku mengenalnya. Orang yang pertama kali membuatku terjebak dalam dunia penuh intrik ini. Aku menerjangnya dengan tendanganku. Bela diri Taekwondo yang sudah lama kupelajari kini kupraktekkan.

            Ia menghindari. Tetapi ia terjatuh karena terpeleset. “Ini saatnya kau dibungkam, Max. Saatnya kau dibungkam.”

            Aku segera mengambil kayu di sebelahku untuk memukulnya.

            Bukkk!

*

Minggu, 19 Februari 2012 – 09.15

            Ada yang mengikutiku. Aku tahu itu. Walaupun aku bukan Drino tetapi aku tidaklah bodoh. Drino sekarang mungkin tengah menyusup ke PT. Freeport. Aku disini. Aku memang tidak pandai menyamar. Mungkin Ratral tengah menjalankan tugasnya. Tetapi aku yakin ada orang di belakangku.

            Seperti yang Drino katakan sebelum ia pergi. Nadine akan mencoba membuntutinya. Tadinya ia ingin menyuruh Ratral yang menyamar menjadi dirinya. Tetapi karena Ratral harus menjalankan tugasnya, aku pun yang harus menyamar menjadi Drino.

            Skenario ini harus berjalan dengan sempurna. Jika Drino berhasil menyusup ke sana dan menemukan dokumen-dokumen itu, selesai sudah. Dokumen-dokumen yang membuktikan bahwa ada konspirasi rahasia di balik semua ini. Setelah semua itu diselesaikan, pemerintahan akan memercayai kami dan embargo akan segera dilakukan. Kami pun akan menyatakan kekuatan. Kekuatan untuk membangkitkan kejayaan Nusantara.

Kini aku berjalan santai. Aku tahu Nadine sedang mengikutiku. Tetapi aku percaya Max memperhatikan dari jauh. Ia sudah bekerja kepadaku selama tujuh tahun. Ia termasuk orang yang setia. Kini aku harus memancing Mos. Aku berharap ia keluar dari persembunyiannya dan menemuiku.

            Aku berharap Drino berhasil. Aku doakan ia segera berhasil. Aku harap Ratral juga berhasil. Dan aku harap Mos akan menemuiku.

            Dukkk!

            Aku terkejut. Segera saja aku menoleh ke belakang. Kulihat di sana Nadine terjatuh dengan sebuah batu di sampingnya. Lalu aku melihat sesosok laki-laki datang mendekati. Itu Mos. Aku dapat menyimpulkan peristiwa barusan. Sudah kuduga rencana kami berhasil.

            Ya, rencana kami berhasil. Ratral telah berhasil menyamar menjadi Nasir. Ia pun telah menyerahkan sebuah laporan kepada Mos bahwa Nadine sebenarnya adalah adik Drino. Mos menyerahkan akte kelahirannya serta surat-surat bahwa Nadine selama ini membantu Drino. Tentu saja itu hanya rekayasa kami. Selanjutnya, setelah Mos terpancing, Ratral menyamar menjadi Latra dan menemui Nadine. Dari sana ia memantau Nadine.

            “Daniel, hentikan kegilaan ini!” Mos berteriak dari jauh. “Kami sudah mengakhiri segalanya!”

            Dari mana ia tahu bahwa aku Daniel? Aku bertanya-tanya dalam hati. Seharusnya ia tidak tahu kalau aku adalah Daniel. Seharusnya ia menyangka aku adalah Drino.

            “Kau mungkin bingung dari mana aku mengetahui bahwa kau adalah Daniel, bukan Drino,” kata Mos. “Anak buahku telah menangkap Drino di PT. Freeport. Maaf, Dan, ia meninggal dalam penyergapan. Tetapi memang begitulah seharusnya.” Ia menodongkan pistolnya kepadaku.

         Aku terjatuh meringkuk. Tidak mungkin! Bagaimana bisa ini berakhir begitu saja? Impian kami musnah. Impian kami... Aku memang tidak berasal dari Indonesia, tetapi aku cinta negara ini. Aku…tidak tahu. Mos benar, ini akhir dari segalanya.

           Dorr!

           Mos menembakku. Pelurunya menyerempet keningku. Aku tidak peduli. Sudah puluhan kali mungkin aku tetembak. Tetapi aku merasa sakit. Tidak, bukan karena peluru ini. Tetapi karena kematian Drino. Tidak mungkin. Sang penguasa itu mati? Tidak. Aku masih belum percaya.

            “Semuanya sudah berakhir Dan, semua sudah berakhir.” Mos membuatku muak.

            Aku berusaha memberitahu Mos bahaya yang besar. Ya. Aku akan memberitahukannya walaupun sulit.

            “Belum, Mos, ini belum berakhir. Aku dapat kabur kapanpun aku mau. Tetapi aku ingin membicarakan sesuatu denganmu.”

            Dorr!

            Ia menembakku lagi. Kini mengenai lengan kananku. Aku muak. Aku harus mengakhiri kegilaan ini. “Indonesia akan menjadi negara maju, Mos, sadari itu! Drino dan Ratral berusaha mewujudkan hal itu!” Aku kembali berteriak.

            “Omong kosong! Apa yang didapat dari mereka hanyalah nama buruk bagi Indonesia. Jangan kau pikir jika Indonesia memonopoli perdagangan itu berarti negara ini akan maju. Indonesia akan dianggap hanya mementingkan egonya sendiri!”

            Aku muak. Aku segera bangkit. Mos hendak menembakku. Tetapi dengan cepat aku menepis pistolnya sehingga senjata itu terlempar. Aku akan mengatakannya. Mengatakan keadaan sebenarnya.

*

Minggu, 19 Februari 2012 – 09.20

Sial! Kegilaan ini harus diakhiri. Aku berlari menyusul Daniel. Aku memang terkejut saat Mos memberitahuku bahwa Drino telah meninggal. Saat aku baru saja melakukan kontak dengan Nadine dan berpura-pura menjadi Latra, tiba-tiba datang sebuah SMS. Aku membacanya. Pesan singkat dari Mos itu mengatakan kalau Drino telah meninggal. Aku harus memberitahukan hal ini kepada Daniel.

            Aku berlari. Terus berlari. Sampai aku terkejut dengan apa yang kulihat. Nadine tergeletak tak berdaya. Ia pingsan. Tidak jauh dari situ kulihat Daniel dan Mos sedang berbicara. Daniel berdarah-darah. Aku tidak tahu apa yang terjadi.

            Tetapi ada hal aneh yang aku lihat. Mos gemetar. Mungkinkah Daniel telah memberitahukan semuanya? Tetapi, baru saja aku akan mendekati, kudengar suara hantaman yang cukup keras.

            Bukkk!

            Suara itu terdengar untuk yang kedua kalinya. Daniel menoleh. Begitu juga dengan Mos. Mereka berlari menuju arah suara. Begitu juga denganku. Kami sampai di tempat kejadian secara bersamaan. Di sana, kami melihat Max sedang berhadapan dengan seseorang yang sangat kubenci. Ia adalah Samuel Wittrhey.

            “Jadi kaulah dalang dibalik semua ini?” kata Mos dengan nada penuh kemuakan.

            Sebelum Sam sempat menjawab, Mos telah memukulnya. Daniel melanjutkan dengan menendangnya.

            Dorr!

            Peluru itu meluncur dari pistol Sam menuju kening Max. Ia terjatuh. Tewas. Daniel terlihat marah. Tentu saja. Max adalah satu-satunya orang yang ia percayai. Bahkan lebih dari ia memercayai Drino. Max adalah pelayannya yang setia. Kini mati di tangan bajingan ini.

            Terjadi perkelahian antara Daniel dan Sam. Sam gelagapan. Ia tidak menyangka Daniel akan seliar ini. Tetapi Sam cepat tanggap. Ilmu Muay Thai dan Karate yang ia kuasai dengan baik menjadikannya berbahaya.

            Sam berbalik menyerang Daniel. Daniel terjatuh. Darah keluar dari mulut dan hidungnya. Dari yang aku lihat, tulang hidung Daniel patah. Giginya pun patah dua.

            “Apa yang kau mau?” Mos ikut naik darah. “Kau hanya memanfaatkanku, bukan begitu?”

            Sam tertawa kecil. “Memang. Mos, kau adalah orang yang hebat tetapi terkadang bisa sangat bodoh. Aku bekerja untuk mereka. Untuk para penguasa dunia. Indonesia adalah negara yang kaya dan hebat. Tetapi kalian dengan bodohnya masuk ke perangkap kami, para pendatang asing. Tetapi kalian telah berakhir. Kalian masih berada di genggaman kami.”

            Sam dengan cepat mengeluarkan granat dari tangannya. Ia membuka pemicunya. Aku tahu apa yang akan dia lakukan. Segera aku berlari. Sam menjatuhkan granat tersebut.

            Duuarrr!

            Ledakan itu menghempaskanku. Aku merasakan nyeri menjalari seluruh tubuhku. Mulai dari ubun-ubun hingga ujung jari kakiku. Aku terkapar tidak berdaya. Aku masih hidup. Tetapi aku menyerah. Aku tahu. Daniel dan Mos meninggal dalam ledakan itu. Impian kami hancur. Aku tak dapat melakukan apa-apa lagi.

            Aku melihat sesosok perempuan muda berjalan mendekatiku. Ia malaikat. Wajah cantiknya terlihat samar. Aku sekarat. Ia menyentuh pundakku. Aku bisa merasakan rasa kehilangannya. Tetesan air mata yang jatuh dari matanya menimpa pipiku.

            Aku merasa kasihan kepadanya. Dengan segenap tenagaku, aku memberinya isyarat untuk merogoh saku celanaku. Ya. Hanya ini yang bisa kulakukan padamu, ibu pertiwi. Maafkan jika aku punya banyak 
salah… Ini akhir perjalananku.

            “Jangan mati,” kata perempuan itu lemah. “Kau pahlawan terakhir, jangan tinggalkan aku…”

            Aku menutup mata. Selamat tinggal Indonesia. Semoga perempuan di depanku melakukan hal yang benar.

*

Minggu, 19 Februari 2012 – 20.00

Aku tak bisa menahan air mataku. Ratral…kenapa kau meninggalkanku? Skenario ini nyaris sempurna. Kau dapat memanggilku apa saja. Kode darimu bahkan membuatku tertawa. Kau menyamar menjadi Latra dan menyapaku. Ratral…mengapa ini harus terjadi?

            Aku ingat senyumnya yang indah di saat terakhir itu. Aku ingat senyum tulusnya untuk negeri ini. Aku terkenang akan senyumnya yang menghiburku. Ratral…kau pahlawan terakhir untuk negeri ini.

            Aku menangis. Tidak tahu apa yang dapat kulakukan. Aku kembali melihat surat yang tadi aku ambil dari saku celananya. Kubaca kembali surat itu. Surat yang sudah basah akan tetes air mataku.

Nadine…aku tahu ini akan terjadi. Drino benar. Ia yang menyuruhku menulis surat ini. Maaf jika skenario ini gagal. Maaf jika serangan yang kau alami dari Mos menjadi sia-sia. Aku berharap aku takkan pernah menyerahkan ini kepadamu. Aku mencintai negeri ini, seperti aku mencintaimu. Kau pahlawan terakhir, Nadine, kau pahlawan terakhir. Di saku jaketku ada alat perekam. Gunakan itu untuk memberi tahu dunia akan peristiwa ini.

Dari sahabat seperjuanganmu,
Ratral

            Aku kembali menangis membacanya. Aku sebenarnya adalah salah satu dari komplotan Drino yang tak pernah terungkap. Tetapi kini aku harus menangis tak berdaya. Aku akan melanjutkan perjuangan Ratral, itu pasti!

            Untuk kalian, terimakasih telah membacanya. Aku hanya berniat memberitahukan hal ini kepada dunia. Ironi negeri kami. Ironi akan kesalahan yang selalu terulang. Sejarah mesti berulang. Tetapi aku mempunyai kekuatan. Kekuatan yang berbeda dari teman-temanku. Mereka selalu percaya pada kekuatanku. Kekuatanku adalah menggubah sejarah.

            Kini aku hanya menunggu kebangkitan kami. Kekuatan baru sedang dihimpun untuk melawan Samuel Wittrhey. Jika mereka datang menyerang, aku akan siap! Aku siap, untuk melanjutkan cita-cita kalian, kawan-kawan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar