Aku sudah tua. Aku sudah tua dan
menunggu waktu yang habis. Aku sudah renta dan tak bisa berbuat hal yang
penting untuk keluargaku. Aku sudah sekarat dan sedang menyesali masa laluku.
Aku tidak pernah menyangka, penyesalan itu baru datang hari ini. Mengapa?
“Halo…” katamu.
Kau datang di saat seperti ini? Aku
tak pernah menyalahkanmu. Mungkin kau sudah melupakannya, tetapi itu akan
menjadi kutukan abadi untukku.
“Permisi…” katamu lagi.
“A… da a… p…pa?” tanyaku kepadamu.
Aku mengeluarkan banyak energiku.
“Jangan berbicara!” Katamu dengan
nada sedih. “Lebih baik kau diam dulu, aku ingin berbicara sesuatu.”
Kamu lalu mendekatiku dan mengelus
rambutku. Aku terkenang saat-saat itu.
*
“Hei! Boleh aku pinjam bukumu?”
tanyaku kepadamu.
“Jangan ah! Nanti hilang,” katamu
cepat. Kamu seolah tidak ingin kehilangan buku yang aku pegang ini.
“Tenang, tidak akan aku hilangkan
kok!”
“Janji?”
“Ya, aku berjanji,” ujarku.
Kamu terdiam. Mencoba mencerna apa
yang aku katakan. Sesaat kemudian kamu berkata, “Baiklah. Tapi janji ya nanti
dibalikin..”
Aku mengangguk.
Kamu lalu berbalik badan dan
melangkah masuk ke dalam kelas.
“Eh? Kamu minjemin buku itu?” Ia
bertanya. Rasa-rasanya ia tidak suka. Wajar saja. Buku itu selalu kamu jaga dan
tidak pernah kamu pinjamkn kepada siapapun. Dia, teman baikmu itu, tentu saja
terkejut saat mengetahui bahwa kamu meminjamkan bukunya padaku.
Aku selalu teringat saat itu. Tetapi
tiba-tiba, saat aku sampai di rumah, ayahku memberitahu bahwa malam itu juga
ayah dan ibu akan mengajakku untuk pindah ke Negara Tetangga. Tanpa banyak
bicara mereka mengambil tasku dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil. Kami
bertiga pun berangkat ke negara tetangga.
Di sana aku hidup bahagia. Tetapi
aku merasa dikutuk. Bukumu masih ada di tanganku dan belum kukembalikan.
Setelah tiga tahun aku berada di negara tetangga, aku baru menyadari bahwa
waktu itu aku meminjam buku milikmu.
“Itu buku siapa?” tanya ibu.
“Buku temanku di negara asal kita,”
jawabku.
Ibuku terkejut bukan main. Ibuku
segera masuk ke kamar dan tidur. Mungkin ibuku itu sudah lelah. Maklum, umurnya
sudah cukup tua.
Dan sekarang aku kembali bingung
harus kuapakan buku ini. Aku tidak pernah mendengar kabarmu. Nomor teleponmu
saja aku tidak punya. Sial, kutukan ini akan terus menghantuiku. Kutukan janji
yang tak bisa ditepati.
*
“Jangan terlalu dipikirkan. Biarkan
saja, aku sudah tidak peduli dengan buku itu,” ujarmu sambil menangis.
“Maafkanlah,” katamu lirih. “Jangan
jadikan bukuku sebagai kutukan bagimu. Aku sadar saat nenek menyerahkan buku
itu kepadaku. Ia juga berkata jangan pernah meminjamkan buku ini. Aku sangat
bingung mengapa ia tidak memperbolehkanku meminjamkannya. Ternyata begini…
ternyata nenek tidak ingin masa lalunya terulang. Pantas nenek berkata bahwa
buku ini ia dapatkan dari temannya yang pernah meminjamnya setelah sekian
lama.”
Aku terhenyak. Ternyata buku itu
memang kutukan.
“Apakah kau pernah membaca buku
itu?” tanyamu kepadaku. “Buku itu bercerita tentang seorang lelaki yang tidak
mampu mengembalikan bukunya hingga akhir hayatnya. Sudah kuduga, buku itu
memang kutukan. Sudahlah, jangan terlalu pikirkan buku itu. Bukan salahmu juga
buku itu kini hilang.”
Aku tidak tahan lagi. Aku lalu
mengumpulkan seluruh energiku yang tersisa lalu berkata, “Itu janjiku! Aku
tidak bisa menepati janjiku! Aku, ohok!” Aku batuk darah. Penyakitku ini sudah
sangat kumat.
Kau mungkin memang sudah menjadi
seorang nenek. Tetapi kau masih bugar. Sedangkan aku? Baru memiliki satu cucu
dan sekarang aku sudah di ujung tanduk. Ya, kutukan ini akan selalu melekat
kepadaku.
Tiba-tiba datang seorang cucumu. Ia
menggenggam buku biru besar yang lucu. Aku dan kamu terdiam. Buku itu…
bagaimana bisa?
“Nenek, buku ini untukku ya?” kata
cucumu dengan suara imutnya.
Aku hendak membantah. Namun apa
daya, aku tidak bisa bergerak. Sementara, di akhir hayatku, aku sempat melihat
reaksimu. Aku melihatmu terbengong-bengong melihat cucumu.
Depok, 29 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar