Kamis, 03 Januari 2013

Buku Itu


Aku sudah tua. Aku sudah tua dan menunggu waktu yang habis. Aku sudah renta dan tak bisa berbuat hal yang penting untuk keluargaku. Aku sudah sekarat dan sedang menyesali masa laluku. Aku tidak pernah menyangka, penyesalan itu baru datang hari ini. Mengapa?


“Halo…” katamu.

Kau datang di saat seperti ini? Aku tak pernah menyalahkanmu. Mungkin kau sudah melupakannya, tetapi itu akan menjadi kutukan abadi untukku.

“Permisi…” katamu lagi.

“A… da a… p…pa?” tanyaku kepadamu. Aku mengeluarkan banyak energiku.

“Jangan berbicara!” Katamu dengan nada sedih. “Lebih baik kau diam dulu, aku ingin berbicara sesuatu.”

Kamu lalu mendekatiku dan mengelus rambutku. Aku terkenang saat-saat itu.

*

“Hei! Boleh aku pinjam bukumu?” tanyaku kepadamu.

“Jangan ah! Nanti hilang,” katamu cepat. Kamu seolah tidak ingin kehilangan buku yang aku pegang ini.

“Tenang, tidak akan aku hilangkan kok!”

“Janji?”

“Ya, aku berjanji,” ujarku.

Kamu terdiam. Mencoba mencerna apa yang aku katakan. Sesaat kemudian kamu berkata, “Baiklah. Tapi janji ya nanti dibalikin..”

Aku mengangguk.

Kamu lalu berbalik badan dan melangkah masuk ke dalam kelas.

“Eh? Kamu minjemin buku itu?” Ia bertanya. Rasa-rasanya ia tidak suka. Wajar saja. Buku itu selalu kamu jaga dan tidak pernah kamu pinjamkn kepada siapapun. Dia, teman baikmu itu, tentu saja terkejut saat mengetahui bahwa kamu meminjamkan bukunya padaku.

Aku selalu teringat saat itu. Tetapi tiba-tiba, saat aku sampai di rumah, ayahku memberitahu bahwa malam itu juga ayah dan ibu akan mengajakku untuk pindah ke Negara Tetangga. Tanpa banyak bicara mereka mengambil tasku dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil. Kami bertiga pun berangkat ke negara tetangga.

Di sana aku hidup bahagia. Tetapi aku merasa dikutuk. Bukumu masih ada di tanganku dan belum kukembalikan. Setelah tiga tahun aku berada di negara tetangga, aku baru menyadari bahwa waktu itu aku meminjam buku milikmu.

“Itu buku siapa?” tanya ibu.

“Buku temanku di negara asal kita,” jawabku.

Ibuku terkejut bukan main. Ibuku segera masuk ke kamar dan tidur. Mungkin ibuku itu sudah lelah. Maklum, umurnya sudah cukup tua.

Dan sekarang aku kembali bingung harus kuapakan buku ini. Aku tidak pernah mendengar kabarmu. Nomor teleponmu saja aku tidak punya. Sial, kutukan ini akan terus menghantuiku. Kutukan janji yang tak bisa ditepati.

*

“Jangan terlalu dipikirkan. Biarkan saja, aku sudah tidak peduli dengan buku itu,” ujarmu sambil menangis.

“Maafkanlah,” katamu lirih. “Jangan jadikan bukuku sebagai kutukan bagimu. Aku sadar saat nenek menyerahkan buku itu kepadaku. Ia juga berkata jangan pernah meminjamkan buku ini. Aku sangat bingung mengapa ia tidak memperbolehkanku meminjamkannya. Ternyata begini… ternyata nenek tidak ingin masa lalunya terulang. Pantas nenek berkata bahwa buku ini ia dapatkan dari temannya yang pernah meminjamnya setelah sekian lama.”

Aku terhenyak. Ternyata buku itu memang kutukan.

“Apakah kau pernah membaca buku itu?” tanyamu kepadaku. “Buku itu bercerita tentang seorang lelaki yang tidak mampu mengembalikan bukunya hingga akhir hayatnya. Sudah kuduga, buku itu memang kutukan. Sudahlah, jangan terlalu pikirkan buku itu. Bukan salahmu juga buku itu kini hilang.”

Aku tidak tahan lagi. Aku lalu mengumpulkan seluruh energiku yang tersisa lalu berkata, “Itu janjiku! Aku tidak bisa menepati janjiku! Aku, ohok!” Aku batuk darah. Penyakitku ini sudah sangat kumat.

Kau mungkin memang sudah menjadi seorang nenek. Tetapi kau masih bugar. Sedangkan aku? Baru memiliki satu cucu dan sekarang aku sudah di ujung tanduk. Ya, kutukan ini akan selalu melekat kepadaku.

Tiba-tiba datang seorang cucumu. Ia menggenggam buku biru besar yang lucu. Aku dan kamu terdiam. Buku itu… bagaimana bisa?

“Nenek, buku ini untukku ya?” kata cucumu dengan suara imutnya.

Aku hendak membantah. Namun apa daya, aku tidak bisa bergerak. Sementara, di akhir hayatku, aku sempat melihat reaksimu. Aku melihatmu terbengong-bengong melihat cucumu.



Depok, 29 Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar